Rabu, 16 November 2011

SEJARAH BERDIRINYA GEREJA KATOLIK SANTO STEFANUS - CILANDAK


Umat katolik di daerah Cilandak pada sekitar tahun 1969 tertampung dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan Fransiskus Xaverius, Lingkungan maria Fatima, dan lingkungan Kristoforus. Ketiga lingkungan itu sebenarnya termasuk dalam paroki Santo Yohanes penginjil/ Blok B jakarta selatan. Cita-cita umat katolik di daerah Cilandak dan sekitarnya pada waktu itu adalah ingin mempunyai tempat ibadat sendiri di daerahnya dan tentunya menjadi satu paroki sendiri.
Gagasan membangun sebuah kapel untuk tempat ibadah umat katolik di daerah cilandak dan sekitarnya diutarakan sekitar tahun 1969. Sejak itu kolekte dari misa bulanan dicatat sebagai tabungan untuk dana pembangunan kapel, meskipun gagasan tersebut masih mirip suatu mimpi. Semangat membangun kapel terus berkembang, dipelopori oleh paroki induknya (Santo Yohanes Penginjil Blok B), oleh karenanya diadakanlah Aksi Pengumpulan dana.
Aksi tersebut berlanjut sampai sekitar tahun 1977
Melalui sumbangan perorangan, kegiatan ini kemudian terhenti setelah ada rencana untuk membangun gereja untuk umat cilandak dan sekitarnya. Rencana membangun gedung gereja tersebut sebenarnya sudah timbul ditahun 1976. Pada waktu itulah panitia pembanguan gereja dibentuk.Tugas panita mencari dan mengusulkan lokasi tempat pembangunan gereja. Salah satu yang diusulkan adalah lokasi tanah milik P.T.B, yang sekarang gereja berdiri.
Berkenaan dengan itu pada tanggal 7 Juli 1977, didapatkanlah keterangan dari kelurahan Cilandak yang menyatakan ada 946 warga katolik di kelurahan ini pada waktu itu. Surat ini adalah awal untuk melanjutkan proses mendapatkan surat izin pembangunan gedung gereja.
Pada tanggal 11 Oktober 1977, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto SJ, menetapkan seorang imam untuk ditempatkan di daerah Cilandak, yang akan dijadikan paroki baru.
Pastor tersebut bernama Mark Fortner, SCJ.
Pada tanggal 15 Oktober 1977, dikeluarkan surat keputusan dari KAJ, yang mengangkat pastor Mark Fortner , SCJ sebagai kepala paroki yang baru.
Dengan demikian tanggal tersebut merupakan tanggal lahir sebuah paroki baru di daerah Cilandak dan sekitarnya.
Adalah rumah bpk AJ. Suradal yang dijadikan sebagai rumah kediaman pastor Mark Fortner, merangkap pastoran pertama pada tanggal 30 Oktober 1977, sesudah misa dirumah tersebut, diadakan pertemuan antara pastor dengan semua ketua wilayah/lingkungan dan tokoh-tokoh umat sewilayah paroki Cilandak. Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya tiga formatur yang bertugas menyusun Pengurus Gereja dan Dana Papa.
Dalam penyusunan formatur tersebut, juga diajukan sepuluh nama calon pelindung paroki baru ini, diantara nama sepuluh nama suci tersebut, bapak Uskup memilih “St. Stefanus” sebagai pelindung paroki baru di Cilandak.

Pada tanggal 6 Nopember 1977, perayaan ekaristi mulai diadakan dengan menyewa tempat di Sport Hall, Joint Embassy School (JES)- Terogong.
Pada tahun 1978, tercatat 619 KK, atau 2850 jiwa, sebagai warga paroki St.Stefanus pada waktu itu.
Karena belum mempunyai gedung gereja maupun gedung pertemuan sendiri, maka kegiatan-kegiatan paroki, seperti kelompok doa karismatik, kerasulan kitab suci, dan yang berorientasi keluarga, diadakan secara bergantian ditempat tempat yang berbeda.
Pada kesempatan perayaan 25 tahun pesta perak paroki St. Yohanes Penginjil Blok B, bapak Frans Seda diserahi sebuah “batu bata” oleh Uskup Agung, Mgr. Leo Soekoto SJ.
Batu tersebut yang selama ini disimpan di suatu tempat yang sangat terhormat dan telah diawet, ditanam dibagian depan-dibawah altar sekarang ini.
Batu bata ini bertuliskan

“Gereja yang terbaik adalah gereja yang merupakan persembahan seluruh umat kepada Tuhan”.
Ini mengandung suatu perintah bahwa umat Cilandak harus membangun gerejanya sendiri.
Pada tangal 29 Januari 1978, panitia pembanguan gereja mulai dibentuk dibawah pimpinan bapak Drs. Frans Seda.
Pada tanggal 4 Juni 1979, melalui surat gubernur DKI, bpk. Haji Tjokropranolo no 376, tahun 1979, diberikan izin kepada umat katolik di kecamatan Cilandak untuk mendirikan gedung gereja katolik diatas sebidang tanah seluas 3792 m2, yang kemudian diperluas menjadi kira-kira 7440 m2.
Tanggal 1 Mei 1981, syukur kepada Tuhan, gedung gereja St. Stefanus selesai dibangun, diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto, disaksikan oleh bpk. H. Tjokropranolo.

Setelah mempunyai gedung gereja sendiri, umat st. Stefanus merasakan masih perlu membangun pastoran untuk rumah tinggal pastorpastor paroki. Akhirnya gedung paroki(aula dan pastoran) dengan usaha dan kerjasama umat paroki melaksanakan pemberkatannya pada ulang tahun kesepuluh paroki St. Stefanus, yakni pada tanggal 8 Nopember 1987.

Gereja St.Stefanus dengan gaya ARSITEKTUR JAWA berbentuk JOGLO




KONSEP PERENCANAAN
Bangunan PENDOPO sebagai perwujudan eksistensi lingkungan tradisional si masa silam, berfungsi sebagai tempat berkumpul orang banyak, sebagai wadah tata hidup
sosial yang menampung aktivitas umat dalam menunaikan ibadah. Usaha dan tujuan utuk mengadaptir tata ruang lingkungan tradisional ke dalam tata ruang lingkungan kota adalah wajar, pola ruang (fisik) tradisional yang dianggap bernilai tinggi dan dapat mewadahi secara fleksibel fungsi ruang, setelah dimodifikasi, tetap dipertahankan.
Nilai tradisional pada perencanaan bangun gereja ini ditekankan pada:
  1. Suasana ruang, dimana elemen-elemen dekoratip memakai pola dan motif tradisional.
  2. Kondisi ruang, dimana sistem pengudaraan secara alamiah.
  3. Mengikut sertakan unsur alam dalam membentuk hubungan erat antara ruang dalam dan ruang luar, dimana material finishing yang dipergunakan baik ukuran maupun warnanya serasi dengan alam.
PATOKAN-PATOKAN PERENCANAAN
Pola Dasar :
bentuk salib distimulasi
Susunan Ruang:
kompak, terikat oleh poros, ruang-ruang pelengkap berorientasi ke poros, yaitu daerah Sakral, daerah ALTAR.
Korelasi Ruang:
hubungan antara ruang dalam dan ruang luar maksimal, sehingga seolah-olah ruang dalam merupakan bagian ruang luar. Hal ini memungkinkan perluasan daerah umat pada perayaan ekaristi pada hari-hari  Raya Gereja.
Kondisi Ruang:
sistem pengudaraan silang (Cross Ventilation) secara alamiah.
Sifat Ruang:
menurut fungsinya, daerah umat bersifat terbuka, ruang-ruang pelengkap bersifat semi terbuka dan ruang-ruang pengakuan bersifat tertutup.
Skala:
dipengaruhi oleh konsepsi hirarchie ruang dimana dari pola lingkungan fisik dengan "Skala Manusia" menuju ke pola non lingkungan non fisik dengan "Skala Tuhan".
Ukuran:
disesuaikan dengan ukuran anggota badan manusia dan merupakan pengulangan (modular)
PERENCANAAN LAYOUT
Pencapaian dari ruang luar ke ruang dalam dimungkinkan dari arah Utara, Selatan, Barat dan Timur.
Pendaerahan sebagai berikut: 
  1. Daerah Sakral, yaitu daerah Altar di mana terdapat
    - meja altar
    - tabernakel
    - mimbar imam
    - perabot pelengkap lainnya
  2.  Daerah Umat
    Kesan monumentalitas dicapai dengan mengarahkan 'flow' umat ke poros yaitu ke daerah sakral.
    Susunan bangku-bangku dengan sistem arena yaitu disusun mengelilingi daerah altar.
    Fasilitas-fasilitas lainnya berupa:
    - sudut-sudut devosi
    - daerah permandian
    - ruang-ruang pengakuan
  3. Ruang-ruang pelengkap berupa:
    -ruang sakristi
    -ruang misdinar
    -ruang listrik
PERENCANAAN BENTUK BANGUNAN
Daerah Altar sebagai daerah sakral dan sebagai pusat daripada bangunan gereja ini dinaungi oleh atap JOGLO, kemudian daerah-daerah umat di sekitarnya dinaungi oleh atap LIMASAN.
Bagian bumbungan dari pada atap JOGLO dan atap LIMASANdilengakapi dengan papan nok yang diberi hiasan ukiran dengan motif-motif salib sebagai lambang kehadiran Putera Allah dan burung merpati sebagai lambang ROh Kudus.
PERENCANAAN INTERIOR
Penciptaan suasana ruang sesuai dengan fungsi bangunan dan bentuk PENDOPO
Daerah Altar
Sebagai pusat orientasi maka plafond daerah ini direncanakan secara khusus yang disebut mahkota dengan pola-pola yang kompak, dilengkapi dengan motif-motif yang diambil dari alam.
Meja Altar dan Tabernakel dilapisi dengan kuningan memakai motif-motif salib yang distilir sebagai simbol daripada pengorbanan dan kehadiran Putera Allah. 
Pada sokoguru kanan depan terdapat suatu prasasti dari kuningan sebagai peringatan peresmian Pembangunan Gereja oleh Gubernur DKI - Jakarta pada tanggal 3 Januari 1980.
Pada sokoguru kiri depan terdapat suatu prasasti dari kuningan peringatan peresmian/pemberkatan penggunaan gereja oleh Uskup Agung Jakarta pada tanggal 1 Mei 1981. 
Di lantai depan altar ditanam BATU BATA PENUGASAN Pembangunan Gereja denga tulisan pada kuningan.
Perabot-perabot pelengkap lainnya antara lain: mimbar imam, mimbar lektor, tempat duduk dan meja persiapan terbuat dari kayu yang diberi ukiran dengan motif alam.
Sudut-sudut devosi dilengkapi dengan:
- meja devosi terbuat dari kayu, dimana sebagian dilapisi dengan tembaga.
- patung Bunda Maria dan Patung Hati Kudus terbuat dari pada kayu.
- tempat lilin terbuat dari logam dengan mengambil bentuk pohon.
Gambar-gambar Jalan Salib yang terdiri dari empat belas stasi, terbuat dari kayu yang diukir, kemudian dipasang pada balok beton. 
PERENCANAAN LANDSCAPING
Penataan pola ruang luar diusahakan agar mendukung dan serasi dengan penampilan banguna gereja. Tanaman pelindung yang dipilih adalah pohon Sawo Kecik yang ditanam di sudut Barat Daya dan Tenggara bangunan gereja, serta pohon Kelapa Gading dan palem kunging sepangjang sisi luar. Pengendalian segi kontras dalam pemakaian material di halam gereja adalah dengan maksud-maksud sebagai berikut:
- Pengerasan diperuntukkan untuk sirkulasi dan parkir kendaraan, juga untuk perluasan daerah umat pada hari-hari Raya Gereja.
- Penghijauan untuk memberikan kesegaran dan pembinaan suasana lingkungan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar