Senin, 28 November 2011

PERJALANAN IMAMAT PASTOR SUDJOKO MSC ( MANADO )


Bagaimana Akan Kubalas Segala Kebaikan Tuhan?
(Maz. 116: 12-13)
Sharing Imamat Pst. Albertus Sujoko, MSC
Ulang tahun Imamat dengan Angka Cantik
Saya merayakan hari ulang tahun imamat pada 21 – 11 – 21 – 11: maksudnya: Tanggal 21 bulan sebelas imamat yang ke dua puluh satu tahun dua ribu sebelas. Saya merayakannya pada saat saya mendapatkan cuti selama beberapa bulan dari tugas saya mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng; yaitu sekolah pendidikan calon pastor di Manado, Sulawesi Utara. Salah satu permenungan yang bisa saya bagikan kepada para pembaca di sini adalah sebuah refleksi pengalaman iman pribadi dan sederhana yang bertumbuh di dalam diri saya sebagai seorang manusia. Saya ingin menyebutkan beberapa hal kecil saja yang berkaitan dengan pengalaman masa kecil dan pengalaman menjalankan tugas sebagai imam dan dosen.
Belajar berdoa dari ayah
Panggilan untuk berdoa saya rasakan sejak kecil, khususnya dari ayah. Orangtua saya semula bukan kaluarga katolik. Mereka baru dibaptis pada tahun 1996 pada waktu saya sudah menjadi imam selama 6 tahun dan sudah 3 tahun kembali dari studi S2 di Roma. Sebelumnya bapak-ibu saya agama Islam kejawen. Setiap malam Jumat Kliwon bapak saya membuat suatu doa di hadapan sesaji berupa makanan dan minuman yang diperuntukkan bagi para leluhur yang sudah meninggal. Sesaji itu berupa nasi, daging, lauk-pauk, rokok, daun sirih, teh manis dan kue-kue kesukaan simbah (opa) waktu hidup. Waktu saya masih kecil, saya suka mengintip dan mencuri dengar apa yang dikatakan bapak saya di dalam doa-doa itu. Karena waktu itu saya berfikir bahwa saya adalah anak pertama dari 5 orang adik-adik saya, maka saya harus tahu doa apa yang harus saya ucapkan untuk menggantikan peran bapak saya nanti. Keinginan saya untuk mempelajari doa secara sembunyi-sembunyi itu saya tafsirkan sebagai panggilan Tuhan untuk berdoa. Intinya saya diajari oleh Tuhan melalui hati nurani saya bahwa saya perlu belajar berdoa. Persoalan berdoa yang bagaimana dan belajar berdoa dari siapa itu nomor dua. Kalau dilihat dari teologi katolik seperti yang saya ketahui sekarang, maka doa bapak saya itu adalah sesat. Tetapi kalau saya ingat dari isi doanya yang ternyata ditujukan kepada Yang Mahakuasa supaya melindungi keluarga, supaya anak-anak sehat-sehat dan sekolahnya berhasil, supaya saudara-saudara di tempat yang jauh selalu diberkati Tuhan, maka doa bapak saya itu sama sekali tidak sesat. Tentang penggunaan barang-barang seperti makanan dan minum itu, ternyata juga sama dengan Ekaristi yang menggunakan makanan dan minuman dalam bentuk lain. Yang satu menggunakan nasi dan lauk-pauk serta teh manis, yang lain menggunakan hosti dan anggur. Dosen dogmatik saya menjelaskan mengapa perayaan Ekaristi tidak menjadi idolatria padahal menggunakan makanan dan minuman seperti juga dipakai oleh praktek doa agama kafir yang kita anggap idolatria? Bedanya karena Perayaan Ekaristi memiliki dasar historis, biblis dan teologis pada seorang manusia bernama Yesus dari Nazaret yang adalah Putera Allah. Ia telah mengorbankan diri-Nya dan membagi-bagikan diri-Nya sebagai santapan keselamatan. Jadi tanda sakramental dalam ekaristi itu bukan tanda kosong, melainkan benar-benar makanan rohani berupa Tubuh dan Darah Kristus.
Tanpa disadarinya, bapak saya telah mengajari saya untuk berdoa seolah-olah seperti akan merayakan ekaristi. Bapak saya hanya seorang petani yang tamat sekolah SMP desa zaman Belanda, yang disebut sekolah ongko loro. Sekolah itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak pribumi supaya tahu membaca, menulis dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa jawa dan tidak diajari bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Tetapi dalam pengalaman pribadi saya, bapak saya itu telah berperan penting dalam membentuk kerohanian saya dan kerinduan saya untuk berdoa. Memang rupanya itulah yang berkenan kepada Allah. Ia berkenan menyatakan hal-hal semacam itu kepada orang-orang kecil dan sederhana, dan menyembunyikannya bagi orang cerdik pandai.  Tanggal 12 Mei 2010 ini bapak saya akan genap berumur 82 tahun, masih hidup dan masih sehat, dan matanya juga masih terang setelah menjalani operasi katarak. Ia sudah menjadi orang katolik dan juga rajin berdoa, tetapi saya tidak tahu apakah doanya sudah berubah atau masih sama dengan yang dulu. Yang jelas ia tidak lagi membuat sesaji pada malam Jumat Kliwon, dan sekarang rajin ikut misa di Gereja dengan penghayatan iman yang hanya Tuhan yang tahu. Mungkin Tuhan yang ia bayangkan masih sama dengan Tuhan yang ia pakai untuk mengajari saya berdoa dulu. Mungkin pengetahuan imannya tidak berbeda jauh dari pengatahuannya yang dulu. Tetapi saya percaya bahwa Tuhan melihat maksud hati dan kehendak baik dari setiap orang.
Dalam cerita wayang ada kisah tentang Pendawa Lima yaitu lima anak dari Pandu Dewanata. Bapak saya adalah anak kedua dari lima bersaudara. Dalam cerita wayang itu anak kedua bernama Bimaseno yang dikenal sebagai orang yang paling bodoh tetapi jujur. Masih melekat dalam ingatan saya bahwa bapak saya memang mengidentifikasikan dirinya dengan Bimaseno yang bodoh tetapi jujur itu. Kalau dibandingkan dengan kakak dan adiknya yang lain yang lebih pinter dan lebih banyak bicara, bapak saya memang tidak bisa berbicara. Tetapi ia memang seorang yang jujur dengan suara hatinya. Pada suatu hari saya pulang di rumah setelah saya kembali dari studi di Roma tahun 1993. Waktu itu saya duduk di meja makan bersama bapak dan saya bertanya, “Mangké manawi bapak sedo, kulo sembayangé pripun?” (nanti kalau bapak dipanggil Tuhan saya berdoanya bagaimana?). Karena saya romo maka saya akan mempersembahkan misa, tetapi bapak belum katolik? Dan bapak saya menjawab: Lha ya kepiyé manèh, lha wong durung anak krenteg ing ati” (Ya bagaimana lagi kerena saya belum merasakan panggilan di hati). Kira-kira tiga tahun kemudian, sekitar paskah 1996, seorang romo dari paroki Kutaarjo menelpon saya memberitahu bahwa bapak-ibu saya akan ikut baptisan pada malam paskah. Saya ditanya apakah saya bisa pulang untuk membaptis mereka. Saya menjawab bahwa saya ada tugas paskah di manado sebagai pastor paroki Pineleng, jadi romo saja yang membaptis mereka pada malam paskah itu bersama dengan para calon baptis lainnya. Selama pelajaran agama satu tahun lamanya bapak-ibu saya tidak pernah memberitahu saya. Saya tidak tahu alasannya mengapa kemudian bapak berubah pikiran kemudian ikut pelajaran agama dan ingin dibaptis. Saya menduga karena semua anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cuku adalah katolik atau menjadi katolik, hanya tinggal mereka berdua yang belum. Tuhan sangat baik pada saya. Tuhan bukan hanya memanggil saya menjadi imam, melainkan memanggil bapak-ibu dan semua saudara saya menjadi katolik. Memang memeluk agama tidak bisa dipaksakan. Dan kalau mereka tidak merasa terpanggil untuk menjadi katolik pun kita diajari untuk toleransi dan menghormati. Namun kenyataan bahwa mereka akhirnya dibaptis untuk saya menjadi berkat yang melimpah dari Tuhan. Kebaikan Tuhan semakin saya rasakan karena pada ulang tahun saya yang ke-50, bapak-ibu saya masih hidup dan masih sehat. Padahal waktu saya masih sekolah di SPG dulu, bapak selalu sakit kalau dimintai uang sekolah atau uang kost karena stress. Setelah semua anaknya mandiri dan tidak merepotkan mereka lagi, orangtuaku malah tetap sehat di usia lanjut mereka. Bagaimana akan kubalas semua kebagikan Tuhan ini?
Diutus Belajar di Roma
Saya merasakan bahwa saya diistimewakan oleh Tarekat. Waktu saya selesai tingkat VI di STF Seminari Pineleng, saya menjalani tahun diakonal di Skolastikat dan mengajar di Seminari Pineleng untuk semester I. Saya pulang ke Jawa bulan November 1990 untuk menerima tahbisan imam dari Mgr. P.S. Hardjasoemarta MSC di Gereja Katolik Pekalongan tanggal 21 November itu bersama dengan tiga teman lain.  Selesai tahbisan dan misa-misa pertama di Jawa Tengah  saya kembali ke Pineleng untuk melanjutkan mengajar semester II dan sudah menjadi imam.  Ada rasa bahagia telah menjadi imam dan ada rasa bangga dipilih menjadi dosen. Baru enam bulan tahbisan, saya sudah dikirim ke Roma untuk Studi. Provinsial waktu itu Pastor P.C. Mandagi, MSC yang adalah superior saya di skolastikat sudah kenal baik dengan saya. Mungkin karena itu maka saya tidak perlu menunggu neomis sampai 2 tahun seperti lazimnya, melainkan bisa langsung berangkat ke Roma bersama beberapa teman yang tahun itu dikirim studi ke Roma. Saya berangkat bulan Juni 1991 dan kembali dari Roma bulan Juli tahun 1993. Empat semester yang disediakan untuk studi S2 bisa selesai sesuai dengan yang diharapkan. Tahun 1998 adalah waktu saya untuk cuti setelah 5 (lima) tahun bekerja. Tetapi Provinsial MSC, atasan saya, meminta saya untuk tidak usah cuti melainkan melanjutkan studi S3 saja ke Roma. Saya waktu itu tidak berminat untuk melanjutkan studi karena untuk menjadi dosen di Pineleng kebanyakan Licentiat sudah cukup. Tetapi atasan saya itu tidak mau mendengarkan pendapat saya, melainkan langsung menulis surat yang isinya memberhentikan saya sebagai dosen STF SP dan mengirim saya untuk Studi. Berbeda dari keberangkatan saya ke Roma yang pertama, kali ini saya merasa malas dan stress berat. Karena saya tahu kemampuan saya hanya pas-pasan saja dan saya tidak tahu mau memilih tema dissertasi tentang apa. Tetapi saya pergi juga dengan perasaan berat dan sakit maag yang semakin terasa sebagai ikutan dari stress yang saya alami waktu itu. Puji Tuhan bahwa tidak sampai 2 tahun kemudian saya bisa menyelesaikan studi S3 itu. Pertama karena faktor penyelenggaraan Ilahi yang di luar jangkauan nalar saya. Saya waktu itu tinggal di rumah Generalat MSC bersama pater General dan Stafnya. Salah seorang staf di situ adalah Pst. Paul Brennen , MSC dari Australia yang bisa membantu mengoreksi bahasa Inggris saya sebelum dimasukkan ke Promotor dissertasi saya Prof. Brian Johnstone, CSsR, yang juga orang Australia. Rupanya faktor “Australian English” ini yang membuat teks naskah saya tidak terlalu banyak coretannya dari Promotor, karena sudah banyak dicoreti di rumah oleh Paul Brennen. Kemudian saya mendengar bahwa enam bulan setelah saya pulang ke Manado, Paul Brennen juga pulang ke Australia. Padahal Paul baru berada di Roma enam bulan sebelum saya datang. Oh, Tuhan, betapa tak terselami kebaikan-Mu padaku. Satu bantuan lagi diberikan kepadaku untuk membuat ujian doktoralku dipercepat. Pembaca kedua dissertasi saya, Prof. Terence Kennedy memanggilku dan memberitahu bahwa mulai bulan Desember 1999 dia akan sabbatical year atau cuti selama satu tahun. Jadi saya bisa ujian setelah ia pulang cuti tahun depan atau dimajukan sebelum dia pergi cuti. Lalu saya menghadap Prof. Johnstone untuk menyampaikan masalah itu dan dia katakan bahwa saya bisa ujian sebelum Prof Kennedy berangkat cuti. Maka jadilah faktor-faktor itu memperlancar studi saya di Roma, karena dari pihak para penguji sendiri mengusahakan supaya ujian saya dipercepat, tentu dengan pertimbangan bahwa dissertasi sudah dianggap layak untuk ujian. Hari itu saya sangat bahagia karena mendapat dukungan dari para konfrater di rumah Generalat. P. J. Mangkey, MSC provinsial MSC sekarang, saat itu menghadiri ujian saya karena beliau menjadi assiten General untuk dua periode di Roma.

Menjadi Ketua Sekolah Tinggi Calon Pastor
Saya ingin mengulangi sekali lagi betapa Tuhan sangat baik padaku dan betapa Tarekat MSC mengistimewakanku. Menjadi imam-biarawan MSC saja sudah membuat hidup saya berubah total dari anak petani desa menjadi seorang pemimpin agama yang dihormati. Ditambah lagi dengan kepercayaan tarekat untuk mengirim saya studi dan kemudian diberi kehormatan untuk menjadi salah seorang staf pengajar di Alma Mater Seminari Tinggi Pineleng yang saya kagumi dan saya banggakan. Kemudian saya menjadi ketua STF SP. Waktu itu Uskup dalam perjalanan panjang dengan mobil ke Kotamubagu dan sms saya. Uskup mengatakan bahwa karena ada waktu dalam perjalanan panjang itu maka beliau berfikir-fikir untuk mencari Rektor Unika De La Salle tahun 2003 itu untuk menggantikan P. Yong Ohoitimur, MSC yang sudah berhenti. Beliau memikirkan nama saya dan bertanya kepada saya. Hari itu saya langsung stress berat dan malamnya tidak bisa tidur. Saya kemudian menjawab Uskup bahwa saya tidak berani untuk menerima tugas berat itu, apalagi menggantikan P. Yong yang jauh lebih mampu dalam kepemimpinan daripada saya. Rupanya kemudian Uskup berfikir untuk meminta John Montolalu menjadi Rektor De La Salle dan saya bisa menggantikan dia menjadi ketua STF SP. Atau saya mengusulkan kepada Mgr bahwa John saja ke De La Salle dan saya bisa ke STF SP. Saya tidak ingat persis lagi. Waktu itu John baru satu tahun menjabat ketua STF SP untuk periode kedua. Tetapi sekarang baru saya sadar bahwa kendati ada percakapan atau sms-an seperti itu dengan Uskup, namun kenyataannya pemilihan langsung Ketua STF SP dilaksanakan. Kalau waktu itu saya tidak mendapat suara terbanyak, maka cerita di atas ini juga tidak pernah berani saya ungkapkan. Namun kenyataannya bahwa sejak September 2003 saya menjadi ketua STF SP, entah karena dipilih oleh senat dosen atau diminta oleh Uskup, atau keduanya atau salah satunya, saya tidak ingat lagi. Kehormatan ini dipercayakan kepada saya sampai bulan September 2011.
Tantangan Panggilan
Setelah menceritakan semua hal di atas yang ada kesan kebanggaan atau bahkan  mungkin sudah ke arah kesombongan, saya ingin kembali kepada diri saya sendiri sebagai seorang imam MSC. Usia saya sekarang sudah tidak muda lagi, walaupun juga belum tua. Namun saya masih diperkenankan setia sampai pada saat ini dalam imamat dan itu  sungguh sangat membahagiakan. Saya tidak pernah merasa krisis panggilan sampai ingin keluar dari imamat. Saya pada umumnya merasa bahagia sebagai imam. Ada pengalaman dicintai dan mencintai tetapi tidak sampai membuat imanku goyah dan ingatanku pendek sehingga lupa Gereja, keluargaku dan umat. Sebaliknya pengalaman mencintai dan dicintai itu membuat hidup saya sebagai imam selibater  lebih berwarna, karena ada sentuhan perasaan dan afeksinya dan tahu apa artinya mencintai tanpa memiliki. Cinta seorang imam selibater dalam relasi dengan seorang wanita itu bisa diumpamakan seperti seorang pengagum bunga mawar. Pengagum bunga mawar itu setiap hari mamandangi, menyirami dan merawat bunga mawar itu. Bunga mawar itu tetap hidup di sana, tetap mekar dan harum mewangi di tempat ia tumbuh dan berkembang. Tetapi kalau imam itu kemudian meninggalkan imamatnya dan memilih wanita relasinya itu. Maka ia bagaikan seorang perusak yang memotong tangkai bunga mawar itu dan dibawa pulang ke rumahnya untuk dijadikan hiasan ruang tamu. Dalam dua hari bunga mawar itu akan mati dan kering. Cinta imam selibater bisa mengarah pada dua kemungkinan itu, sebagai pengagum atau perusak. Saya tidak mau bercerita lebih mendetail tentang pengalaman pribadi yang satu ini, karena bisa menimbulkan salah-tafsir. Saya hanya menyinggungnya sedikit untuk menyatakan bahwa pengalaman dijatuhi cinta kemudian jatuh cinta ada juga dalam hidupku. Saya sebenarnya ingin tahu pengalaman beberapa teman pastor yang berani, tega, rela, nekat (kata apa yang lebih tepat saya tidak tahu) untuk meninggalkan imamat karena relasi dengan wanita. Saya juga ingin tahu pengalaman pastor yang kendati pernah mengalami jatuh cinta atau jatuh ke dalam dosa, namun kemudian bangkit dan bertobat sehingga tidak sampai meninggalkan imamat. Saya juga ingin tahu pengalaman pastor yang seumur hidupnya memiliki hati murni sejak seminari kecil sampai sebagai imam tua. Ia bisa menjaga kemurnian hatinya dan kesucian jiwanya seperti didambakan oleh semua umat dan oleh para imam itu sendiri. Sebagai pembina di seminari saya juga mengetahui beberapa frater mengalami jatuh cinta. Ada yang bisa mengolah perasaan cinta itu dan tetap maju dalam panggilan kemudian menjadi imam. Yang lain lagi merasa bahwa perasaan cinta itu membuat ia berefleksi kembali tentang panggilan imamatnya dan mengubah keputusan untuk melanjutkan cinta itu secara bertanggungjawab dengan gadis pujaan hatinya. Salah seorang tokoh Gereja yang berani bersharing tetang pengalaman pribadi dalam relasinya dengan wanita adalah St. Agustinus dalam bukunya Confessiones yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Pengakuan-pengakuan. Walaupun itu terjadi sebelum ia menjadi kristen dan menjadi uskup, namun pengalaman seperti itu toh tidak akan berani diceritakan secara terbuka karena akan menimbulkan rasa malu yang besar. Tetapi St. Agustinus berani melakukannya dan Gereja tanpa ragu memberikan gelar kudus, pujangga Gereja dan bapa Gereja kepadanya. Saya setuju dengan dekrit Perfectae Caritatis tentang hidup membiara yang menyatakan bahwa kesucian adalah kesempurnaan cinta kasih. Kesucian bukan kesuksesan menghidari dosa seumur hidup, melainkan kemampuan untuk memurnikan cinta dan kerendahan hati untuk bertobat terus menerus dari dosa-dosa.
Semoga dikasihilah Hati Kudus Yesus di mana-mana!

Kakak dari Bapak Antonius Sujiwo ( Paroki Santo Barnabas - Pamulang )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar