Kamis, 22 Desember 2011

DIBAWAH ( ATAP ) GEREJA KAMI BERLINDUNG



oleh Silvinus Sapomo CM
Kampung Joot sudah terlelap. Padahal jam baru menunjuk angka 9. Dari pembaringan aku mencoba menangkap suara alam di luar. Yang terdengar hanya lolongan anjing dan bunyi-bunyian binatang malam. Terusik oleh suara itu, aku mencoba keluar. Aku menikmati udara dan gelapnya malam itu. Iseng-iseng aku coba aktifkan HP. Eh, rupanya ada signal juga. Aku mendapat SMS dari Romo Werang, CM. Dia menulis bahwa Magnus tidak bisa datang ke Down Fly. Bapak Uskup dan para romo di Kiunga khawatir akan keselamatannya untuk meliput karya misi di kampung-kampung pengungsi dari Papua Barat. Alasannya jelas. Magnus dari Indonesia dan membawa video kamera. Dia akan dianggap wartawan dan mata-mata. Via SMS aku yakinkan Rm. Werang bahwa tidak perlu cemas. Saya sudah berbicara dengan para pemimpin umat di kampung-kampung pengungi. Magnus akan datang sebagai utusan para imam Kongregasi Misi untuk menapak jejak misioner Pastor Jacques Gros, CM. Mereka malah sangat senang dan dengan bangga bercerita tentang karya besar Pastor Jacques Gros ketika bersama mereka. Akhirnya, Rm. Werang kembali menjelaskan alasan itu dan dia setuju untuk pergi mengantar Magnus ke Down Fly River.

Aku bisa mengerti akan kecemasan dan kekhawatiran Bapak Uskup dan para imam di kota. Beberapa pengalaman sebelumnya membuktikan itu semua. Beberapa pengungsi dari West Papua masih trauma. Mereka sangat sensitif bila mendengar kata Indonesia, Jawa dan Tentara. Beberapa pastor sebelum saya sempat mengalami serangan dan ancaman karena berasal dari Indonesia dan orang Jawa. Tapi saat ini sudah mulai membaik. Saya tidak takut untuk datang mengunjungi dan melayani mereka. Setiap kali perkenalan, saya menyebut diri berasal dari Kalimantan Barat. Begitu pula dengan Magnus. Dia dari Flores. Dengan begitu, kami tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali, meski dia membawa video kamera. Akhirnya Magnus mendapatkan banyak gambar yang bagus dari petualangannya ke kampung-kampung pengungsi di wilayah Paroki Katedral St. Gerard Kiunga.

Hampir separuh umat dari Paroki Katedral St. Gerard Kiunga adalah pengungsi. Mereka tersebar di 8 kampung dan satu lingkungan di kota Kiunga. Di paroki ini ada 15 kampung yang harus kami layani. Hanya 7 kampung yang murni warga lokal PNG. Di 2 kampung, yakni di Katawim dan Dome, jumlah pengungsi itu masing-masing mencapai 2 ribu. Para pengungsi itu telah berada di wilayah negara Papua New Guinea lebih dari 25 tahun. Itu terhitung sejak Tentara Nasional Indonesia melancarkan serangan dalam Operasi Militer untuk melumpuhkan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) pertengahan tahun 80an. Sejak saat itu gelombang pengungsi terus membanjiri wilayah-wilayah Western Province. Meskipun sampai sekarang sudah banyak yang kembali, tapi tetap saja masih banyak yang trauma. Saat ini masih ada lebih dari 9000 pengungsi yang tinggal bersama warga asli PNG. Mereka tersebar di 17 lokasi atau kampung atau kamp penampungan pengungsi di sekitar border atau perbatasan.

Bagaimana keadaan mereka? Sebuah pertanyaan yang memilukan bila dijawab dengan jujur dan apa adanya. Mereka tidak punya tanah. Mereka tidak punya hak berusaha dengan leluasa. Mereka tidak punya warga negara. Mereka menjadi pengembara yang menetap. Ya, sepertinya mereka menetap di suatu tempat, tapi itu bukan tanah mereka. Mereka diijinkan untuk tinggal dengan syarat-syarat yang diatur oleh tuan dusun yang punya tanah. Mereka tidak boleh mengambil hasil hutan, sagu dan aneka jenis sayuran di luar batas yang sudah ditentukan. Mereka tidak boleh menjadi pengusaha dan pejabat. Mereka tidak boleh membangun rumah lebih bagus dari warga lokal. Mereka bisa menjadi guru, tapi tidak mendapat gaji dari pemerintah. Mereka tinggal di pinggiran sungai Fly yang selalu banjir berkali-kali dalam setahun. Mereka hanya bertahan di tanah rendah di pinggir Fly River. Setiap kali banjir akibat penambangan emas OK Tedi, mereka kehilangan segalanya. Rumah-rumah rusak. Ternak hanyut. Kebun hancur. Kolam dan sumur kotor. Bahkan sagu di rawa-rawa jadi layu dan mati begitu saja. Pasca banjir mereka selalu mulai lagi dari nol.

Dalam sebuah wawancara dengan Surat Kabar Currier Post, Bapak Uskup Gilles Cote, SMM pernah meminta kepada pemerintah Papua Nugini supaya: Pertama, pengungsi yang lahir dan telah tinggal di PNG sekian lama dan tidak punya niat untuk kembali ke Indonesia, hendaknya segera diberi hak warga negara. Kedua, hak-hak mereka sebagai manusia yang menjadi korban kerusakan lingkungan juga harus diperhatikan oleh tambang emas Ok Tedi. Mereka selama ini sangat menderita, sebab tidak pernah mendapatkan kompensasi sedikitpun dari perusahaan seperti halnya warga lokal PNG. Ketiga, beliau menyerukan kepada kedua negara (Indonesia dan Papua New Guinea) untuk secara serius mengurus warga negaranya. Berikan mereka jaminan keselamatan dan kesejahteraan. Sebuah seruan kenabian yang sepertinya masih belum mau didengarkan oleh para pejabat kedua negara. Mereka terlalu asyik dengan dunia dan tahta empuknya.

Seorang mantan tokoh OPM pernah datang ke pastoran. Dia bercerita begini: “Pastor, kami tahu Indonesia sudah berubah. Soeharto sudah tidak ada lagi. Pak Bambang saya kenal juga, karena sebagai sesama prajurit, kami dulu pernah bertemu. Tapi untuk pulang ke West Papua, kami tidak memilik jaminan apa-apa. Tetangga-tetangga kami menuduh kami pengkhianat negara. Kami tidak punya lagi tanah dan harta di sana. Pemerintah juga menganggap kami sebagai musuh negara. Kalau kami kembali berarti mati. Lebih baik kami hidup sebagai pengungsi dari pada mati di tangan saudara sendiri. Cukuplah bagi kami berlindung di bawah atap Gereja, dari pada memikirkan politik yang semakin tak jelas arahnya. Kami sudah tua. Generasi berikutnya belum tentu sekata dengan kami. Jadi, hanya kepada Gerejalah kami bisa percaya dan merasa aman.” Sungguh sebuah ungkapan hati yang mengharukan. Ketika segala usaha tak kunjung ada hasilnya, hanya imanlah yang bisa menguatkan. Ketika dunia tak memberikan ketenangan dan jaminan, hanya Allahlah yang menjadi sumber pengharapan.

ANDAIKATA AKU BUKAN MISIONARIS



oleh Silvinus Sapomo Cm
Selasa, 25 Oktober 2011. Pagi itu matahari sudah meninggi. Teriknya menyengat hangat. Water front berlumpur dijejali banyak orang yang ingin bepergian. Bau keringat bercampur dengan bau karet menusuk hingga ke dalam perut. Kami bersiap-siap pergi patroli ke kampung Joot di Down Fly River. Di sana akan ada pembinaan untuk para anggota Dewan Kampung selama tiga hari. Aku pergi bersama Sr. Denise Renaud, DW, Mary Simon dan Mr. Raphael. Sr. Denise adalah seorang Suster Putri Kebijaksanaan asal Kanada. Ia berusia 65 tahun dan anggota tim pembinaan keuskupan. Tubuhnya besar dan pendek. Mungkin tiga kali lebih besar dari ukuran tubuhku. Kalau pendeknya sih hampir sama. Untuk pergi patroli seperti ini, dia butuh kursi khusus untuk duduk di boat. Dia menyebutnya Chair of Queen Syeba. Bukan hanya kursi. Bahkan untuk (maaf) beol pun dia membawa ember khusus. Sebab di kampung tidak ada toilet duduk. Selanjutnya, Mary Simon dan Mr. Raphael adalah anggota tim pastoral paroki. Kami berempat akan menjadi pemateri sekaligus penterjemah. Sr. Denise memberi materi dalam bahasa Inggris. Kami menterjemahkannya ke dalam bahasa Motu dan Pidgin.

Kembali ke pelabuhan. Kami membawa banyak barang. Ada 300 liter bensin untuk keperluan transportasi. 1 liter harganya 6 kina. Jadi untuk fuel saja, kami perlu dana K1.800 atau setara dengan Rp.7.200.000. Bahan makanan juga harus dipersiapkan. Bukan cuma untuk kami, tapi juga untuk peserta. Untuk itu kami mengeluarkan uang belanja sekitar K1.000 atau setara dengan Rp.4.000.000. padahal yang dibeli hanya beras, gula, kopi, teh dan sirup serta ikan kaleng dan noodles/mie alias kakaruk. Itupun bukan barang bagus, sebab sudah kadaluarsa beberapa bulan yang lalu. Para peserta diminta untuk membawa makanan yang kami sebut sebagai local contributions seperti sagu, pisang, ketela dan sayuran. Dengan boat yang sarat barang dan penumpang, kami berangkat menuju Joot jam 11.00 dan sampai di tempat jam 16.00.

Pembinaan para anggota dewan kampung berjalan lancar. Istilah keren untuk dewan kampung adalah VCT (Village Coordinating Team). Anggota VCT terdiri dari perwakilan bapak-bapak, ibu-ibu, mudika, pemimpin ibadat dan koordinator serta wakilnya. Jadi, setiap kampung setidaknya ada 6 anggota VCT. Untuk pembinaan kali ini, pesertanya ada 25 orang. Masing-masing dari kampung Katawim (3), Kaikok (3), Joot (6), Kuiu (5), Kukuzaba (2), Membok (2), Mapruam (2) dan Memeyop (2). Ada 2 kampung lagi yang tidak mengirim utusan, yakni Erecta, dan Karemgo. Dalam pembinaan ini, kami mengajak mereka semua untuk mengerti tugas dan tanggungjawab mereka sebagai VCT, mengerti sutruktur dan jalur kebijakan di dalam Gereja dan bagaimana mereka bekerja dan melayani umat dalam sebuah tim seperti merencanakan kegiatan,  melaksanakan dan mengevaluasi itu semua dalam sebuah rapat koordinasi. Semua materi itu diberikan dalam bentuk kerja kelompok, diskusi, sharing dan drama juga. Dan yang repotnya adalah: semuanya diterjemahkan dalam tiga bahasa.

Jumat siang, 28 Oktober acara selesai dan ditutup dengan perayaan Ekaristi. Sr. Denise dan Mary Simon langsung kembali ke Kiunga bersama dengan beberapa peserta dari kampung yang searah. Mereka memakai boat yang disewa oleh para pastor CM untuk mengantar Magnus dari Yakobis Surabaya. Dia akan meliput beberapa acara dan kegiatan patroliku di daerah Down Fly River. Boat itu disewa bersama dengan pengemudi, mesinnya dan kami juga harus menyediakan 160 liter bensin. Fr. Yohanes Werang CM mengurus semuanya dengan memakai uang komunitas CM di Kiunga. Total pengeluaran untuk itu mencapai K1.160 atau setara dengan Rp.4.840.000. setelah acara selesai, Magnus, Raphael dan aku sendiri turun ke bawah sungai Fly untuk mengantar peserta pulang ke kampung-kampung mereka. Sambil mengantar peserta, Magnus membuat beberapa dokumentasi misi, mewawancarai pemimpin-pemimpin umat dan segala hal yang berkaitan dengan pelayanan para imam Kongregasi Misi di Keuskupan Daru-Kiunga.

Malam itu kami menginap di kampung Memeyop. Kampung kecil dengan 20 kepala keluarga. Mereka begitu senang menyambut kami. Sebelum pulang, kami masih misa pagi bersama. Setelah itu, beberapa anak turun ke danau untuk memanah (molo) ikan. Dalam beberapa saat saja mereka sudah berhasil mendapatkan 4 ekor ikan mujair dan 1 ekor kura-kura besar. Ketika akan meninggalkan Memeyop beberapa ibu dan anak-anak berlari-lari menuju bibir danau. Mereka membawa ikan-ikan segar dari rumah mereka. Mereka memberi sayur-sayuran juga untuk pastor.  Sungguh sebuah suasana dan pemandangan yang membahagiakan. Mereka begitu mencintai kami. Dan aku sendiri hanya bisa merenung sejenak, “Aku tidak menjala dan memukat ikan, tapi ketika aku memikat hati mereka dengan pelayanan dan cinta yang tulus, maka itulah yang menjadi pukat dan jalaku.” Dari Memeyop kami kembali ke Kiunga dan mampir sebentar di Joot dan Kaikok. Di sana Magnus harus mengambil beberapa gambar dan wawancara dengan tokoh-tokoh umat juga. Kami baru tiba di Kiunga jam 17.00. Sebuah perjalanan yang cukup lama, yakni sekitar 6 jam.

Malam minggu aku sudah lelah. Rasanya ingin langsung tidur. Tapi kotbah untuk misa besok belum siap. Aku membayangkan acara esok hari. Pergi pagi-pagi ke kampung Dome dan Yogi untuk misa penutupan Bulan Rosario. Aku pergi lagi bersama Magnus. Jam 6.00 berangkat dengan mobil pick up paroki. Setelah 1 jam dengan mobil, kami meneruskan perjalanan dengan naik perahu untuk menyeberang ke kampung Dome. Untuk boat itu, kami harus menyediakan 10 liter bensin, sebab dia akan mengantar kami pergi-pulang dari Dome ke Yogi dan kembali ke tempat parkir mobil kami.

Perayaan Ekaristi di dua kampung itu sangat meriah. Sebelum Misa, mereka mengadakan perarakan patung Bunda Maria dari corners atau lingkungan-lingkungan ke dalam Gereja. Mereka menyambut kami dengan tarian-tarian tradisional, juga dalam perayaan Ekaristi. Sebuah ungkapan iman dan kegembiraan rohani terpancar dari tindakan dan semangat mereka. Iman itu sungguh-sungguh mengakar kuat dalam budaya dan tradisi. Mereka memakai aneka pakaian tradisional dalam perayaan misa. Lagu-lagu dengan bahasa Muiu, Melayu dan Pidgin menyatu harmonis dengan aransemen alami dan khas dari bakat alami yang mereka miliki. Aku terharu melihat semuanya itu. Aku melihat Tuhan dalam kesederhanaan dan keunikan. Aku melihat Dia dalam rupa yang nyata. Andaikata aku bukan seorang misionaris, mustahil aku melihat dan mengalami semuanya ini. Andaikata aku bukan misionaris, aku tak akan melihat keindahan seni dan kreasi yang unik mereka ini. Andaikata aku bukan seorang misionaris, aku tidak mungkin berada di tempat ini. Kehadiranku di tengah mereka sebagai gembala dan misionaris meneguhkan iman mereka. Sebaliknya, semangat dan kesetiaan mereka dalam iman membahagiakan aku juga.

AKU MULAI JATUH CINTA



“Excuse me, Father Pom, a mother and her childrens are looking for you,” kata Pak Rafael. “Who are they and coming for what?” sahutku dari balik kelambu. “I don’t know, Father”, jawabnya yang memaksaku harus keluar dari sarangku. Sekilas aku melirik arlojiku. Rupanya sudah jam sembilan malam. Aku nyaris terlelap karena lelah. Sore tadi, setelah dua jam terguncang-guncang di atas boat, aku masih membantu Rafael memperbaiki generator. Kami sudah bekerja keras sampai berkeringat. Gensetnya berhasil menyala. Lalu aku memasang kain untuk membuat “Layar Tancap.” DVD Player sudah siap juga. Tapi sayang, DVD yang akan diputar untuk umat di kampung malah lupa dibawa. “Thanks be to God. Let’s prepare the second plan,” jawabku pada ibu yang bertanggung-jawab membawanya. Dia sempat kaget mendengar jawabanku. Dia sudah mengira aku akan marah-marah. Memang ada alasan untuk marah, tapi aku sudah terlanjur lelah. Maka, rencana keduanya adalah: matikan saja gensetnya. Beritahu umat dengan segera. Lalu aku menggelar matras bututku. Menggantung kelambu dan berencana menikmati tidurku.

Dalam kegelapan malam itu, seorang ibu dengan banyak anak datang ingin ngobrol denganku. Dia berkata kalau dia dipaksa anaknya untuk bertemu pastor. Anaknya tidak mau tidur sebelum mengunjungi pastor. Lucu juga, tapi memang begitu adanya. Anak itu kelihatan amat gembira selama kami berbicara. Tadi sore waktu tiba di kampung Kawok, anak-anak memang membantu kami mengangkat barang-barang. Setelah itu, aku memberi mereka permen satu-satu. Aku sempat bersama mereka main bola juga. Mungkin itu yang membuatnya bahagia. Si ibu bercerita tentang situasi kampungnya. Kampung lokal yang nyaris mati. Kampung besar yang kini hampir tak ada penghuni. Banyak dari mereka memilih pindah ke kota Kiunga, menikmati uang kompensasi mereka. Rumah dan kebun tak pernah lagi dijamah. Bila datangpun seringkali mabuk dan membuat ulah. Yang tinggal di kampung malas ke Gereja. Komunitas Basis Kristiani tidak jalan sama sekali. Mereka akan segera berkumpul bila ada action plan yang berupa bagi-bagi uang dan sembako seperti yang dilakukan oleh banyak Gereja Kristen di negeri ini.

Dari paroki kami datang dengan satu program tunggal: memberikan penyuluhan tentang “HIV/AIDS Awareness.” Sebetulnya ini program pemerintah, tapi dipercayakan kepada Gereja. Maka dalam tim patroli kali ini, ada perawat yang mewakili pemerintah. Semua biaya dan akomodasi ditanggung oleh pemerintah. Tapi yang namanya pemerintah, di mana-mana hanya banyak omong dan janji saja. Program sudah direncanakan tahun lalu, tapi sampai hari H dana belum juga keluar. Bahkan infonya baru akan cair tahun depan lagi. Yaahhh, mau bagaimana lagi! Akhirnya semua kembali ke paroki. Kami akan mengunjungi tiga kampung lokal di sepanjang Fly River. Katanya pastor harus ikut serta untuk menarik massa. Jika umat biasa yang datang, mereka tidak akan tertarik kecuali atas nama perusahaan yang membawa uang dan aneka tetek-bengeknya. Kalau bersama pastor setidaknya ada alasan untuk mengundang mereka misa. Apalagi, pastornya “too young and handsome,” kata Nurse dalam sebuah pengantar sessinya. (Ingat lho, ya; yang bilang begitu Nurse, bukan pastornya sendiri, hahaha...). Dan memang terbukti cukup banyak umat yang “dijebak” dengan Ekaristi Suci. Setelah misa umat dilarang keluar gereja. Penyuluhan langsung diberikan setelah lagu penutup selesai. Untuk program outdoor, di dua kampung kami bisa memutar DVD tentang HIV/AIDS, sebab aku mengirim berita ke paroki, supaya mengirim DVD itu ke kampung berikut. Program outdoor diminati lebih banyak orang dari pada misa dan indoor. Mengapa? Karena itulah satu-satunya hiburan bagi mereka yang tinggal di kampung. Selain itu, umat dari Gereja Kristen lainnya juga bisa ikut nimbrung dan menimba manfaat dari layar lebar yang dihadirkan khusus bagi mereka.

Nyaris saja tanpa aku sadari bahwa inilah patroli terakhir kali di Paroki St. Gerard Katedral ini. Selama hampir delapan bulan, 15 kampung sudah aku kunjungi semua. 8 kampung pengungsi dari West Papua dan 7 kampung lokal warga Papua New Guinea. Kini, ladang baru nan tandus sudah menanti. Letter of appointment dari bapak uskup sudah keluar.  Dari St. Gerard Kiunga di kota, aku bergeser sedikit ke Our Lady of Papua Kungim di tengah belantara Papua. Nyaris tak terasa, delapan bulan telah berlalu begitu rupa. Nyaris tak terduga, pengalaman unik dan menarik mengalir begitu saja. Nyaris tak terselami olehku, bahwa tangan kudusNya telah menuntunku begitu kuat dan indah pula. Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali menjejakkan kaki di kampung-kampung itu. Akankah nanti aku kembali mengayunkan langkah-langkah kecil bersama para pemimpin dan umat yang telah merebut hati ini? Rupanya aku mulai jatuh cinta. Para pemimpin dan umatpun merasakan hal yang sama. Satu-dua sudah mendengar desas-desus penugasan baruku. Beberapa pemimpin dari kampung pengungsi mengutarakan kesedihannya. Dan aku hanya bisa berkata bahwa semua ada waktunya. Jika aku bisa datang, maka aku bisa juga pergi. Aku sudah bersama mereka dan akan ada waktu pula untuk meninggalkan mereka. Dari awal aku sudah tahu bahwa St. Gerard hanyalah medan orientasi, saat adaptasi dan bulan-bulan untuk belajar itu dan ini. Rasanya aku memang sudah mulai jatuh cinta. Tapi cinta ini harus terus diberi dan dibagi-bagi. Rasa ini tak mungkin dinikmati sendiri. Cinta ini memintaku untuk pergi ke tempat yang lain lagi. Cinta ini rupanya adalah sebuah pilihan untuk memberikan diri di mana saja dan kapan saja. Dan sejauh ini, aku merasa bahwa pilihanku tidaklah salah. Hanya saja rancanganNya tidak selalu sama dengan yang aku punya. Maka, bagiku Penyelenggaraan Ilahi berarti tunduk pada misteri Allah. Dan aku sendiri dengan suka rela dan penuh cinta mengikutiNya seraya merevisi kehendak dan rencana pribadi. Surga lama akan berlalu bagiku dan surga baru sudah menungguku.






HARI KELAHIRAN SANTO YOHANES PEMBAPTIS



Yes 49:1-6; Kis 13:22-26; Luk 1:57-66.80
"Menjadi apakah anak ini nanti?" Sebab tangan Tuhan menyertai dia.
Kelahiran anak pertama pada umumnya sungguh menggembirakan orangtuanya serta sanak-saudaranya atau kerabat-kerabatnya. Jauh sebelum anaknya dilahirkan biasanya orangtuanya telah merencanakan nama anak yang masih di dalam rahim atau kandungan ibunya. Orangtuanya pun kiranya juga memiliki dambaan atau cita-cita mulia terhadap anak yang akan dilahirkannya. Para suami-isteri yang telah bertahun-tahun menikah dan tidak segera dianugerahi anak kiranya ketika dianugerahi anak oleh Tuhan sungguh luar biasa kegembiraannya. Kiranya pengalaman macam itulah yang terjadi dalam diri Zakharia dan Elisabeth ketika dalam lanjut usia dianugerahi seorang anak laki-laki oleh Tuhan. Menurut tradisi seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan harus diberi nama sama seperti nama ayahnya, namun anak yang dilahirkan oleh Elisabeth telah diberi nama oleh Tuhan, sebelum anak dikandungnya, yaitu Yohanes. Maka gempar dan penuh keheranan sanak-kerabat dan saudara-saudarinya
mendengar bahwa anak tersebut dinamai Yohanes, dan merekapun berkata :”Menjadi apakah anak ini nanti?”. Maka baiklah kita renungkan keheranan mereka atas kelahiran Yohanes ini.

“Menjadi apakah anak ini nanti?” (Luk 1:66)
Pertanyaan macam itu kiranya menjadi pertanyaan banyak orang terhadap seorang anak yang disertai oleh Tuhan, lebih-lebih bagi orang yang sungguh beriman. Anak yang baru saja dilahirkan kiranya masih bersih, suci, menarik dan mempesona, maka baiklah jika kita percaya bahwa Tuhan senantiasa menyertainya, marilah ia kita didik dan dampingi sedemikian rupa sehingga “anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya” . Dengan kata lain hendaknya anak-anak didik dan didampingi agar tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik dan berbudi pekerti luhur alias cerdas spiritual, tidak hanya sampai pada cerdas intelektual saja. Jika anak kelak kemudian hari tumbuh berkembang menjadi pribadi cerdas spiritual, percayalah ia pasti akan menjadi orang yang fungsional menyelamatkan lingkungan hidupnya dimanapun dan kapanpun, entah apapun pekerjaan  atau tugasnya.

Bahwa anak bertambah besar secara phisik kiranya merupakan hal biasa, namun hendaknya juga diperhatikan perihal jenis makanan maupun minuman bagi anak. Pertama-tama kami berharap anak-anak/bayi dapat menerima ASI dari ibunya secara memadai, dan hemat saya minimal selama satu tahun anak menerima ASI, syukur lebih. Pemberian ASI bagi anak selain merupakan makanan/minuman bergizi juga berfungsi menjalin kasih mesra antara anak dan ibunya, dan secara inklusif juga mencerdaskan belahan otak kanan, yang erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual (ingat: bukankah ibu menyusui anaknya pada umumnya lebih-lebih dengan buah dada kiri, yang berarti belahan otak kanan anak menempel di buah dada!). Buah dada adalah symbol kasih dan sumber rezeki yang menyehatkan dan menyelamatkan. Ketika anak mulai diberi makanan tambahan selain ASI, hendaknya sedini mungkin berpedoman pada ‘empat sehat lima sempurna’, dengan kata lain anak sedini mungkin diperkenalkan dan
menikmati semua jenis makanan dan minuman  sehat, sehingga ketika dewasa mereka tak akan mengikuti selera pribadi dalam hal makan dan minum tetapi mengikuti pedoman hidup sehat. 

Kita semua berharap anak juga semakin kuat rohnya, tidak hanya semakin besar tubuhnya. Maka hendaknya anak-anak sedini mungkin dilatih dan dibiasakan dalam hal sopan santun dan budi pekerti luhur, sehingga kelak ia memiliki sifat-sifat budi pekerti luhur atau keutamaan-keutamaan sebagai buah roh, seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan pengusaaan diri” (Gal 5:22-23). Pembinaan atau pembiasaan penghayatan keutamaan-keutamaan ini pertama-tama dan terutama dengan atau melalui keteladanan orangtua atau bapak-ibu, maka kami berharap bapak-ibu dapat menjadi teladan hidup berbudi pekerti luhur atau dijiwai Roh Kudus bagi anak-anaknya. Keteladanan merupakan cara utama dan pertama dalam mendidik dan mendampingi anak-anak yang tak tergantikan oleh cara apapun. Kami berharap juga sekolah-sekolah yang membantu para orangtua dalam mendidik anak-anak mereka juga lebih mengutamakan agar para peserta
didik tumbuh berkembang menjadi pribadi baik dan berbudi pekerti luhur atau cerdas spiritual, jangan hanya berlomba dalam hal kecerdasan intelektual. Selanjutnya marilah kita renungkan apa yang menjadi tugas panggilan Yohanes Pembaptis.

“Menjelang kedatanganNya Yohanes telah menyerukan kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis” (Kis 13:24)
Marilah anak-anak kita bina dan didik agar meneladan Yohanes Pembaptis, yaitu kelak mereka berseru dan mengajak semua orang untuk bertobat dan mempersembahkan atau menyucikan diri seutuhnya kepada Tuhan alias dibaptis. Dibaptis berarti disisihkan atau dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan sehingga mereka yang dibaptis hanya  mau mengabdi Tuhan saja serta menolak semua godaan setan. Memang agar mereka berani dan mampu melaksanakan tugas pengutusan tersebut mereka harus tetap kuat dalam roh alias hidup dan bertindak dengan menghayati keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh Kudus di atas, sehingga tanpa berseru-seru kepada atau mengajak orang  lain untuk bertobatpun, mereka yang melihat cara hidup dan cara bertindak anak-anak yang bersangkutan tergerak untuk bertobat. Mereka yang melihat atau hidup bersama dengan anak-anak yang baik dan berbudi pekerti luhur juga akan mendengar suara dalam hatinya “Dengarkanlah aku, hai pulau-pulau, perhatikanlah, hai
bangsa-bangsa yang jauh! Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku” (Yes 49:1).

Kami mengajak dan mengingatkan kita semua untuk membuka mata dan telinga hati kita guna melihat dan mendengarkan suara Tuhan yang berbicara melalui anak-anak atau bayi atau anak yang masih berada dalam kandungan/perut ibunya.  Mata dan telinga merupakan dua dari lima indera kita yang penting dalam proses perkembangan dan pertumbuhan kepribadian kita, karena apa yang kita lihat dan dengarkan sungguh mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak kita. Bayi, termasuk yang masih ada di dalam kandungan, dan anak-anak hemat saya lebih suci daripada kita orang dewasa, dan dalam hidup beriman hemat saya yang harus lebih dihormati dan dijunjung tinggi adalah mereka yang lebih suci, maka selayaknya kita menghormati dan menjunjung tinggi anak-anak. Tidak memperhatikan dan mendidik anak-anak dengan baik sesuai dengan kehendak  Tuhan berarti membunuh masa depan mereka maupun menyuramkan masa tua/depan kita.

Kita berharap anak-anak kita kelak menjadi ‘bentara-bentara’ Penyelamat Dunia, pribadi-pribadi yang menyiapkan jalan bagi sesamanya untuk semakin beriman atau hidup suci atau menjadi penyalur rahmat dan kasih karunia Tuhan bagi sesamanya. Ketika anak-anak menjadi dewasa, dalam tugas dan pekerjaan apapun, kapanpun dan dimanapun, kita harapkan dapat membahagiakan atau menyelamatkan sesamanya alias fungsional menyelamatkan lingkungan hidupnya. Anak-anak adalah buah kasih yang diciptakan atau diadakan dalam kasih dan kebebasan, maka hendaknya juga didampingi dan dibesarkan dalam kasih dan kebebasan. Para orangtua atau pendidik hendaknya dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tenaga dalam mendidik dan mendampingi anak, sebagai wujud mengasihi mereka. Mengasihi berarti juga dengan rela berani memboroskan waktu dan tenaga bagi yang dikasihi, tanpa pemborosan waktu dan tenaga kasih kurang mantap dan handal.

“Tuhan Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku kalau aku berdiri atau berjalan, segala jalanku Kaumaklumi.” (Mzm 139:1-3)
 

ign.sumarya SJ

SETIAP ORANG YANG MEMPUNYAI KEPADANYA AKAN DIBERI



(2Mak 7:26-31; Luk 19:11-28)
“ Orang yang pertama datang dan berkata: Tuan, mina tuan yang satu itu telah menghasilkan sepuluh mina. Katanya kepada orang itu: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam perkara kecil, karena itu terimalah kekuasaan atas sepuluh kota. Datanglah yang kedua dan berkata: Tuan, mina tuan telah menghasilkan lima mina. Katanya kepada orang itu: Dan engkau, kuasailah lima kota. Dan hamba yang ketiga datang dan berkata: Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur. Katanya kepada orang itu: Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: Ambillah mina yang satu itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh mina itu. Kata mereka kepadanya: Tuan, ia sudah mempunyai sepuluh mina. Jawabnya: Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ada padanya. Akan tetapi semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku." Dan setelah mengatakan semuanya itu Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanan-Nya ke Yerusalem.” (Luk 19:15-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Semakin orang memiliki banyak pekerjaan/fungsi/jabatan pada umumnya juga akan semakin bekerja keras: efisien, efektif dan afektif dalam menggunakan waktu dan tenaga, sehingga menghasilkan ‘buah pekerjaan maupun keterampilan’ yang memperkaya dirinya maupun orang lain. Sebaliknya orang yang hanya memiliki satu pekerjan/fungsi/jabatan sering dengan seenaknya melaksanakan tugasnya atau fungsi/jabatannya. Pada hari-hari terakhir dalam kalendarium/tahun Liturgi ini kita diajak uutuk mawas diri: sejauh mana kita telah menumbuh-kembangkan iman, keterampilan, bakat atau aneka macam anugerah Tuhan dalam rangka “meneruskan perjalanan ke Yerusalem”, artinya menuju akhir hidup kita, sewaktu-waktu kita dipanggil Tuhan. Dengan kata lain: apakah kita semakin suci, semakin baik dan berbudi pekerti luhur, semakin berbakti kepada Tuhan dengan rendah hati, sebagaimana pepatah mengatakan ‘tua-tua keladi/bulir padi semakin berisi akan semakin menunduk’. Kami percaya bahwa umur kita bertambah, kesejahteraan hidup secara ekonomis juga bertambah, namun apakah juga semakin beriman, suci, rendah hati, baik dan berbudi pekerti luhur kiranya boleh dipertanyakan. Kita semua diharapkan menjadi ‘hamba-hamba yang baik’, yang senantiasa berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun.
· “Aku mendesak, ya anakku, tengadahlah ke langit dan ke bumi dan kepada segala sesuatunya yang kelihatan di dalamnya. Ketahuilah bahwa Allah tidak menjadikan kesemuanya itu dari barang yang sudah ada. Demikianpun bangsa manusia dijadikan juga. Jangan takut kepada algojo itu. Sebaliknya, hendaklah menyatakan diri sepantas kakak-kakakmu dan terimalah maut itu, supaya aku mendapat kembali engkau serta kakak-kakakmu di masa belas kasihan kelak.” (2Mak 7:28-29), demikian kata seorang ibu kepada anaknya yang akan menerima hukuman mati karena kesetiaan imannya. Kata-kata di atas ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita sebagai umat beriman atau beragama ketika karena kesetiaan dalam penghayatan iman harus menghadapi aneka macam ancaman, masalah maupun hambatan. Ingatlah dan hayatilah bahwa kita pernah tidak ada sama sekali dan keberadaan kita sampai saat ini merupakan anugerah atau karya Tuhan. Maka segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk tubuh kita, sungguh bersifat sementara, hidup kita hanya sementara, sebagaimana dikatakan dalam pepatah Jawa bahwa ‘urip iku koyo wong mampir ngombe”. Memang karena hanya sementara ada dua kemungkinan orang menyikapinya, yaitu hidup seenaknya menuruk keinginan pribadi dan berpesta pora atau bekerja keras tanpa kenal lelah seraya membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah. Tentu saja sebagai umat beriman atau beragama kita diharapkan memilih yang kemudian itu, yaitu bekerja keras tanpa kenal lelah seraya membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah. Maka marilah kita mawas diri apakah kita semakin membaktikan sepenuhnya kepada Allah dengan mengerahkan waktu dan tenaga kita sepenuhnya pada penghayatan panggilan, pelaksanaan tugas pengutusan atau kewajiban, apakah kita semakin dikasihi oleh Allah dan sesama manusia dimana pun dan kapan pun.
“Langkahku tetap mengikuti jejak-Mu, kakiku tidak goyang. Aku berseru kepada-Mu, karena Engkau menjawab aku, ya Allah; sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, dengarkanlah perkataanku.”
(Mzm 17:5-6)

Ign. Sumarya SJ