Rabu, 16 November 2011

SEJARAH BERDIRINYA GEREJA KATOLIK SANTA MARIA TANGERANG






Sekilas Sejarah Gereja Santa Maria - Tangerang
1870 - 1942
Tangerang atau yang saat itu disebut sebagai Kampung Makasar memiliki sejarah yang cukup unik. Struktur masyarakat yang tadinya sangat kental diwarnai suasana pedesaan dan agraris, tiba-tiba berubah menjadi urban bahkan metropolis. Masyarakat Tangerang saat itu mengalami perubahan yang cukup hebat dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, Tangerang yang dikenal sebagai daerah pertanian, peternakan, tempat penampungan anak-anak nakal dan orang-orang pesakitan, serta tempat penampungan penderita kusta, berubah menjadi kota yang berkembang dengan pesat....
Pada tahun 1522, nama desa Tangerang pertama kali disebut oleh pengarang Portugis Barros. Saat itu, tepatnya sampai akhir abad ke-17 seluruh daerah di sebelah Barat Sungai Angke adalah wilayah kekuasaan Sultan Banten. Dalam perang antara Sultan Ageng Tirtajasa dan VOC, Tangerang diduduki oleh tentara kompeni yang membangun kubu pertahanan sederhana, sementara Sungai Cisadane dianggap sebagai perbatasan antara kedua kekuatan yang bermusuhan.Desa Tangerang diakui sebagai pos perbatasan dalam perjanjian dengan Sultan Haji (1684). Kubu bambu pelan-pelan diperkuat dan ditempati sejak permulaan abad ke-18 oleh puluhan tentara VOC yang berasal dari Makassar. Tidak jauh darinya dibangun benteng lagi dari batu (1712), yang ditempati komandan Belanda sampai 1809 dengan pasukkan Eropa. Pada kerusuhan Tionghoa sekitar tahun 1740, ”Benteng Makasar” direbut dan dihancurkan, sedangkan benteng lain bertahan terhadap tiga serangan gerombolan pemberontak Tionghoa.Selama abad ke-18 daerah Tangerang diurusi oleh residen-residen yang berasal dari keluarga kesultanan Banten. Sebelum invasi Inggris tahun 1811 benteng Tangerang diperkuat dan dipergunakan oleh pasukan kavaleri serta artileri untuk mengantisipasi bahaya kerjasama antara Inggris-Benteng-penduduk Tionghoa. Sebab pada pemberontakan Kiai Tapa tahun 1752 situasi benteng sangat rawan. Sampai tahun 1918 Tangerang menjadi bagian administratif (afdeling) sendiri, yang pada tahun 1917 mencakup 378.760 penduduk pribumi, 35.600 orang Tionghoa, 120 orang Belanda dan 20 orang Arab. Pada tahun 1918 Tangerang menjadi 'controle-afdeling' dari Batavia, namun pada tahun 1943 diangkat menjadi kabupaten sendiri.
  


Kota Tangerang sudah dikunjungi pastor pada abad lampau. Sejak tahun 1902 Tangerang resmi masuk statistik Vikariat Apostolik Batavia dengan jumlah umat 23 orang, semuanya orang Eropa. Tahun 1929, imam-imam dari Ordo Fransiskan (OFM) datang di Hindia Belanda. Mereka diserahi Paroki Kramat dan seluruh daerah Banten (Serang, Lebak dan Pandeglang) serta Tangerang. Pada 1933 ditempatkan seorang pastor tetap di Rangkas Bitung dan Tangerang. Dua tahun setelah itu, karena dirasa jarak Rangkas Bitung dan Tangerang cukup jauh, ia meminta agar Tangerang dilayani dari Batavia saja. Jumlah umat pada 1935 sudah 93 orang Eropa dan lima orang pribumi. Namun keadaan berubah drastis. Jepang menguasai bekas jajahan Belanda tahun 1942, sehingga praktis Tangerang tidak mendapat pelayanan sampai 1948.
Setelah Jepang menyerah tahun 1945 Tangerang direbut 'Rakjat Djelata', 'Barisan Keamanan Rakyat' dan kadet Akademi tentara. Karena posisinya yang strategis, Tangerang diduduki lagi KNIL setelah pertempuran sengit di Cengkareng tahun 1946. Selama perang Kemerdekaan tahun 1945-1949 dan masa sebelum G-30-S, Tangerang mengalami gangguan keamanan. Sejak tahun 1970-an perkembangan industri khususnya kimia dan tekstil, puluhan kompleks perumahan baru, jalan tol dan lapangan terbang internasional, mengubah Tangerang dan sekitarnya secara drastis.



Awal Penggembalaan Umat
1942 -1952
Pada tahun 1948 Bapak Uskup Mgr. Petrus Willekens S.J memutuskan untuk menempatkan PASTOR J. VAN LEENGOED S.J di Tangerang sekaligus sebagai pastor tentara. Keadaan saat itu tidak memungkinkan pastor untuk menemukan sebuah tempat yang layak untuk ditinggali. Sampai akhirnya pastor itu mendapat tempat di Jalan Raya 15, bekas Ramerwa School yang didirikan oleh Zending pada 1938.
Gedung di Jalan Raya 15 itu tersebut merupakan gedung bekas markas tentara Belanda selama Perang Dunia II. Namun setelah Jepang masuk ke Indonesia, maka diambil alih oleh tentara Jepang. Kemudian beralih kepada Inggris dan akhirnya kembali menjadi markas tentara Belanda.
Mgr.Willekens S.J meminta bantuan PASTOR LAURETIUS VAN DER WERF S.J yang kala itu menjadi Pastor Kepala Paroki Mangga Besar, untuk menangani Tangerang. Beliau dikenal ahli dalam misi Tionghoa. Maklum masyarakat Tangerang pada saat itu terdiri dari dua suku terbesar yaitu suku Cina yang sudah berabad-abad di sini dan suku Banten asli. Maka selama beberapa kali dalam seminggu seminggu Pastor Van der Werf selalu mengunjungi ladang barunya itu.



Pastor Van der Werf berniat memanfaatkan bekas bangunan sekolah yang terbengkalai di Jalan Raya 15 karena kebutuhan akan sebuah tempat yang permanen tak dapat lagi terelakkan. Namun pemilik yayasan sekolah tersebut tinggal di Jakarta dan kebetulan Pastor kenal baik dengan Dokter Tan Tjong Dai yang sekali seminggu melayani pengobatan di Tangerang. Dengan perantara Dokter Tan, lahan dan bangunan tersebut dibeli dengan harga Rp. 30.000,- pada 1 Juni 1950.
Keadaan sekolah tersebut sangat tidak memungkinkan untuk digunakan, maka beberapa ruang kelas kemudian diperbaiki. Daun jendela, pintu dan kusen yang sudah lenyap, dibuatkan lagi gantinya. Pastor Van der Werf mulai menetap di Tangerang, dan terus mengunjungi umat, mengajar agama para calon baptis dan mempermandikan orang Katolik baru. Bahkan Pastor juga membuka sekolah rakyat bernama STRADA, dengan tujuh orang murid pada awalnya. Pada tahun 1951 barulah sebuah bangunan berwujud berupa sebuah bekas ruang kelas yang diberi salib di atas bangunannya. Itulah Gereja SANTA BUNDA MARIA YANG BERHATI TAK BER NODA.
 

Pastor Van der Werf tak pernah kenal lelah berkarya di Tangerang maka pada 1952 Bapak Uskup Mgr P. Willekens, S.J berkenan menjadikan Tangerang yang terdiri dari 17 kecamatan di seluruh kabupaten Tangerang sebagai paroki dari Keuskupan Jakarta dengan nama HATI MARIA TAK BERNODA. (Kemudian pada 1992 atas kesepakatan Dewan Paroki dan disetujui Bapak Uskup, untuk selanjutnya Gereja dinamakan Gereja Santa Maria).





Pembangunan Fisik Terus Berkembang
1955 – 1968
Pastor WILLIAM KRAUSE VAN EEDEN S.J diangkat menjadi Pastor Kepala Paroki Tangerang merangkap pastor pembantu Paroki Toasebio pada awal Agustus 1955. Pada waktu itu jumlah umat di Tangerang sudah 117 orang Indonesia, 15 orang Eropa dan 23 orang dari bangsa lain. Pastor Krause Van Eeden kemudian mengembangkan sekolah-sekolah STRADA. Untuk itu beliau memperluas kompleks ke arah Selatan dan dijadikan sekolah SMP. Maka gereja kecil di situ lebih dikenal masyarakat umum sebagai Gereja Strada.
Pada awal 1958 beliau membeli tanah dan gudang di daerah pasar baru untuk dijadikan sekolah dasar dan rumah guru. Seiring dengan perkembangan umat dan pelayanan sekolah yang mengharuskan untuk menambah lahan kemudian pada bulan Mei 1958 beliau membeli tanah di tepi jalan raya yang kini Jl. Daan Mogot 44 untuk dijadikan asrama guru. Beliau membeli tanah di seberang RS Kusta Sintanala untuk keperluan rehabilitasi para eks penderita kusta. Disitu beliau membangun kapel dan rumah untuk guru agama. Kapel itu kemudian diresmikan pada 17 November 1960 dengan nama Kapel MARIA FATIMA, sehingga kompleks itu dikenal dengan sebutan Kompleks MARFATI. Pastor W. Krause Van Eeden S.J mengakhiri masa tugasnya pada tanggal 1 Maret 1968.





Gembala Berkarya
1968 – 1977
Setelah Pastor W. Krause Van Eeden S.J mengakhiri masa tugasnya, kembali Tangerang memperoleh gembala baru. Pastor W. Krause Van Eeden S.J digantikan oleh Pastor ANTON MULDER S.J. Saat itu umat sudah berkembang menjadi 384 jiwa. Pada tahun 1968 beliau diangkat oleh Mgr. A. Djajasepoetra,SJ sebagai pastor pertama yang menetap di Tangerang. Beliau melayani umat Katolik di Tangerang sebagai stasi dari Gereja Toasebio di Jakarta. Selain itu beliau juga mengurusi STRADA dan membuka pusat rehabilitasi bagi ex-pasien kusta ”Marfati”. Marfati adalah buah hatinya yang sungguh. Dalam pengabdiannya, Pastor Anton Mulder berusaha untuk membenahi manajemen Marfati. Disamping karya-karyanya itu beliau juga mendirikan lingkungan-lingkungan dan Dewan Pamong Sabda. Kemudian beliau juga membuka stasi pertama di daerah Ciledug.
Umat terus berkembang, semakin jelas terasa gedung Gereja tidak lagi memadai untuk menampung umat. Kemudian diadakanlah lomba merancang bangunan Gereja. Dari hasil lomba tersebut didapat lima masukan, dipilih satu yang paling tepat untuk kebutuhan umat Katolik Tangerang yang akan segera direalisasikan. Pembangunan Gereja akhirnya selesai Maret 1973 dengan biaya yang diperoleh secara swadaya umat. Pada tanggal 26 Agustus 1973 Bapak Uskup Mgr. Leo Soekoto S.J meresmikan Gereja baru tersebut.
Dari tahun ke tahun tidak dapat dipungkiri perkembangan umat kian meningkat Sampai pada tahun 1973 tercatat jumlah umat 1.690 orang di Gereja Induk, 235 di Marfati dan 71 orang di Ciledug. Pada waktu itu Paroki Tangerang sudah memiliki empat stasi. Yaitu, TELUK NAGA 14 km ke Utara, CURUG 18 km ke Barat daya, TANJUNG KAIT 28 km Barat Laut dan CILEDUG. Ada satu stasi yang merupakan limpahan dari Paroki Grogol yaitu, Stasi CENGKARENG, namun hanya berusia dua tahun karena pada 1975 Stasi Cengkareng berdiri sendiri menjadi paroki. Setelah membenahi dan mengatur serta memantapkan hati umat, pada 1 Januari 1977 Pastor Anton Mulder S.J digantikan oleh Pastor FX TAN SOE IE S.J yang sebelumnya bertugas sebagai Pastor Paroki di pinggiran Kota Yogyakarta.
Selama berada di Tangerang Rm Tan sempat terkejut, seminggu menjelang Paska tidak ada persiapan apapun di Paroki Tangerang. Berbeda dengan kebiasannya di Yogyakarta, dimana kurang lebih dua bulan sebelum Paska sudah dilakukan pembagian tugas dan mulai terdengar latihan kelompok-kelompok koor untuk persiapan lagu-lagu Paska. Akan tetapi sekonyong-konyong paroki Tangerang mulai bangkit. Kegiatan paroki, terutama di bidang Liturgi, mulai berjalan dengan adanya warga dari Perumnas. Kemudian, bermunculan real estate yang membawa bermacam-macam manusia ke paroki. Ditambah pula dengan banyaknya karyawan-karyawan berbagai perusahaan yang menjamur di Tangerang. Tidak ketinggalan pula, banyak kaum muda benteng yang mulai tertarik pada Gereja. Saat itu wilayah Tangerang sudah mulai berubah. Kota yang semula relatif sepi dan kolot ini mulai berubah dinamis.
Gereja perlu terus dibangun, kapasitas gereja harus diperbanyak, akhirnya pembangunan gedung Gereja dirasa menjadi suatu keharusan. Pastor Tan menambah bangunan Gereja sebelah kanan sampai gedung Pastoran dengan mendirikan sebuah pendopo, sehingga bisa menapung lebih banyak umat. Sedangkan di Perumnas Karawaci didirikan sebuah bangunan serba guna untuk melayani umat di daerah itu.
Selama empat sampai lima tahun sebagai Pastor Paroki Rm Tan merasakan secara nyata bagimana Roh Allah mulai menghembusi Paroki Tangerang. Pastor Tan memiliki karya yang begitu nyata. Terlihat dengan banyaknya jumlah baptisan dewasa penduduk asli Tangerang dari keturunan Tionghoa. Semuanya tidak terlepas dari karya pendidikan yang telah dirintis oleh STRADA. Sekarang secara sekonyong-konyong Paroki Tangerang menjadi hidup, bergerak serta berkembang di segala bidang. Tidak hanya terbatas pada jumlah umat, melainkan juga dalam kualitas kehidupan Paroki.
Keprihatinan Paroki Tangerang
1985
Pada Tahun 1985 Romo Tan mendapat tugas baru di ladang yang jauh yaitu Timor-Timur. Paroki Tangerang akhirnya “kosong” tanpa pastor kepala. Namun untuk sementara, sekitar satu bulan dipegang oleh Pastor SEWAKA S.J. dan pada pertengahan tahun 1985 Pastor TARSISIUS SUJUDANTO S.J mulai bertugas sebagai Pastor Kepala Paroki, setelah usai tugas belajar Tersiat di Filipina.
Sama seperti pastor-pastor yang pernah datang ke Paroki Tangerang, keprihatinan yang sama pun muncul ketika misa pertama Pastor pSujudanto di Paroki Tangerang karena umat yang datang begitu banyak tetapi tidak mendapat tempat duduk. Maka beliau pun tergerak untuk berbuat sesuatu. Apalagi setelah mendapat “sentilan” dari Bapak Uskup Mgr.Leo Soekoto S.J ketika berkunjung ke santa Maria. Saat itu Bapak Uskup berkomentar, Gereja Tangerang adalah Gereja emper yang diberi emper. Beliau pun berpesan supaya didirikan Gereja yang sesungguhnya dan umat diharapkan ikut serta membangun.
Keprihatinan Pastor Sujudanto ditambah dengan ”sentilan” dari Bapak Uskup menambah niat yang besar dari dirinya untuk memperluas gereja dengan cara menambah bagian dari Gereja. Langkah pertama yaitu membuat Gua Maria yang didepannya diberi konblok dengan tujuan agar dapat menampung umat lebih banyak saat misa berlangsung. Tak hanya itu, di Teluk Naga sentuhan Romo Sujudanto terwujud dalam bentuk kapel, sedangkan Tanjung Kait baru sampai tahap fondasi. Sebagai sarana komunikasi antar umat Paroki, beliau memprakarsai Berita Paroki dan Majalah Terang.
Sayangnya, beliau hanya satu setengah tahun berkarya di Paroki Tangerang. Pastor Sujudanto harus menggembala di tempat lain dengan membawa kegembiraan atas apa yang telah ia berikan di Paroki Tangerang.





“Pembangunan Gereja Tak Terelakkan Lagi...”
1987 – 1994
Untuk kesekian kalinya Paroki Tangerang memperoleh gembala baru di pertengahan tahun 1987. Pastor SIEGFRIED BINZLER BINTARTO S.J yang saat itu usai bertugas di Semarang hadir di Paroki Tangerang pada tempat dan waktu yang tepat.
Pastor yang dikenal sebagai “Pastor Pembangunan” ini melakukan sentuhan pertamanya dengan membuka dinding yang memisahkan Gereja dengan sekolah, dan di ganti dengan terali besi, sehingga kian banyak umat yang dapat tertampung. Tenyata itu saja masih tidak cukup. Gereja yang lebih besar, itulah jalan keluarnya. Beliau lantas membentuk Panitia Pembangunan Gereja, dan meminta bidang teknis untuk segera membuat rancangan Gereja Baru. Namun tidak terlepas dari kendala yang paling mendasar seperti yang diungkapkan oleh pitutur Jawa, jer basuki mawa bea yang artinya setiap usaha pasti membutuhkan biaya. Berbagai kiat pun digelar PPG untuk menjaring dana seperti dimulai dari malam dana yang diselenggarakan pada tanggal 23 Juli 1988 diGedung Olah Raga Tangerang, penjualan kupon berhadiah sampai edaran sumbangan dari umat. Semua panitia ikut terlibat dalam mengusahakan pencarian dana, Bp. H. Chaerul Yani selaku Komisaris PPG, memotong 20 persen kepada para supplier, untuk kemudian diserahkan kepada Romo Bintarto. Demikian juga Bapak Anton Priyanto selaku Ketua Bidang dana yang juga pengusaha kendaraan bis, setiap minggunya selalu memberikan kendaraan bisnya untuk digunakan dalam rangka pencarian dana. Bahkan pernah diadakan Novena selama 9 bulan ke Sendang-sono sambil berjualan kupon berhadiah.
Namun sangat disayangkan, usaha tim teknis dan kegiatan pencarian dana yang begitu menggebu-gebu oleh umat sempat terhenti selama kurang lebih dua tahun karena sesuatu hal. Akibatnya dana yang sudah terkumpul dan di proyeksikan akan cukup untuk membangun Gereja dalam waktu dekat, terpaksa harus ditambah lagi dalam jumlah yang cukup besar. Maklum, antara lain karena terjadi banyak perubahan harga dan bahan-bahan penting yang dibutuhkan.
Sampai tanggal 28 November 1992, telah tercatat 2 kali pembentukan Panitia Pembangunan Gereja sampai dengan Peletakan Batu Pertama dan Penandatanganan Prasasti pada yakni :
1.Periode 1987-1990, PPG I diketuai oleh Bpk. Rachmat Gunawan.
2.Periode 1990-peresmian, PPG II diketua oleh Bpk. M. Tanuwibiksana.
PPG yang diketuai Bpk. M. Tanuwibiksana mulai aktif bekerja pada Agustus 1991. dana yang terkumpul saat itu sebanyak Rp. 306.880.981,00. Tentu saja jumlah sebanyak itu masih tidak mencukupi untuk membangun sebuah gereja. Tim dana pun terus meningkatkan usahanya tanpa kenal lelah. Sejak tanggal 1 Agustus 1991 tim teknisi langsung bekerja untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB). Tim Teknis PPG II tidak membuat sendiri rancangan bangunan Gereja seperti yang dilakukan PPG I, namun tim teknis PPG II juga harus bekerja keras untuk mempelajari kelayakan rancangan yang dibuat oleh konsultan.
Lahan dengan luas 7.300 meter persegi itu pada mulanya akan didirikan 2 bangunan sekaligus yaitu bangunan Gereja baru dan gedung SMA Strada. Tetapi akhirnya gedung SMA tersebut batal dibuat karena keterbatasan lahan yang ada. Lahan menjadi sempit sebab terpotong oleh garis sepadan jalan (sekitar 16 meter) dan garis sepadan sungai (sekitar 20 meter). Pada prinsipnya, pembangunan Gereja ini tidak mudah, karena sejak semula sudah menghadapi kendala terutama luas tanah yang tidak memadai. Perluasan lahan dirasa sudah tidak memungkinkan, ke depan terhalang oleh jalan Daan Mogot, ke belakang terbentur oleh Sungai Cisadane. Ke samping kiri dan kanan pun tak mungkin karena ada jalan dan tanah atau bangunan milik orang lain. Karena itu Dewan Paroki menerapkan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh PPG bersama-sama dengan Yayasan STRADA, yaitu bagaimana menempatkan diri diantara kepentingan Gereja dengan Sekolah STRADA ditanah yang sangat terbatas.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah perizinan. Menurut Bapak Drs. H. Gunawan Anwar selaku Ketua Bidang Perizinan mengatakan bahwa mengurus perizinan memang tidak mudah karena harus melewati Panitia Tiga Belas, terlebih pejabat Sosial Politik. Memang bisa dimaklumi, karena pihak pemerintah tentu harus lebih dulu mempertimbangkan berbagai aspek sosial, politik dan lainnya, supaya nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Ditambah lagi kesulitan mendapatkan izin lingkungan. Tetapi berkat partisipasi dan pengertian dari RT setempat pada waktu itu dan kesadaran untuk saling menghargai, pada akhirnya semuanya bisa diurus dan diselesaikan. Umat tentu saja menyambut kemudahan ini dengan gembira. Gereja Santa Maria berdiri berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan SK No. 452.144-HUK/1992 tanggal 17 Juni 1992.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, IMB akhirnya diterbitkan Pemda pada bulan Juni 1992. Semua pihak merasa lega dan pada tanggal 28 November 1998 dilaksanakan Upacara Peletakan Batu Pertama yang dilakukan oleh Walikota Tangerang, Bpk. Drs. H. Djakaria Machmud, Ketua PPG I Bpk. Rachmat Gunawan dan Pastor Kepala Paroki S. Bintarto S.J., sekaligus penandatanganan Prasasti oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto S.J. Dan Walikota Tangerang Bpk. H. Djakaria Machmud.
Selain masalah dari luar, PPG juga harus menghadapi masalah dari dalam kepanitiannya sendiri. Bagaimana PPG bisa membina kerjasama sehingga tujuan bersama bisa tercapai. Tak bisa dipungkiri, hal ini tentu bukan perkara mudah. Maklum, masing-masing angota PPG punya kesibukan sendiri-sendiri. Namun Bapak M. Tanuwibiksana selaku Ketua Umum PPG mempunyai kiat tersendiri untuk membina kerjasama itu. Caranya dengan selalu mengadakan koordinasi meyakini akan tanggung jawab dan kemampuan masing-masing anggota PPG. Perlu keterbukaan, saling mengisi dan saling koreksi juga dengan Dewan paroki. Sebab keterlibatan semua panitia dalam pembangunan Gereja ini adalah semata-mata tugas pelayanan yang dapat diberikan kepada Gereja. Cinta kasih Tuhan yang tidak pernah berkesudahan kepada semua umat yang mau bekerja demi namaNya memotivasi Bp. FX. Suwarno untuk mengorbankan sebagian waktu pribadinya. Sama halnya dengan Bp. Iriawan yang mengatakan jika kita menaruh salib di rumah sebagai lambang penderitaan Kristus, kita harus berani ikut ambil bagian dalam karya penyelamatanNya, agar kita boleh mewariskan Kerajaan Allah yang sudah dijanjikan kepada kita. Ini semua menciptakan kekompakan dan kebersamaan yang mendalam antara sesama panitia PPG.
Pada tanggal 29 November 1992 merupakan misa terakhir yang dilaksanakan di Gereja sebelum dilakukan pembongkaran. Awal Desember 1992, bangunan Gereja lama mulai dibongkar. Segala aktivitas Gereja dipindahkan sementara di Marfati. Pembangunan Gereja baru dimulai 14 Desember 1992 dan direncanakan selesai pada 10 November 1993. Namun, penyelesaian terlambat 1 bulan. Pihak pemborong baru bisa menyerahkan Gereja baru kepada PPG pada 10 Desember 1993.
Seminggu kemudian umat bisa bersuka cita merayakan Adven IV pada tanggal 18 Desember 1993 di tempat yang masih gres. Perayaan Natal 1993 pun bisa dilangsungkan di tempat baru nan anggun dan lapang ini. Dan untuk pertama kali pula, Perayaan Paskah 1994 berlangsung di Gereja baru ini. Semua pihak bersyukur.
Peresmian Gereja
1994
Peresmian Gedung Gereja Santa Maria Tangerang, dengan memilih waktu bertepatan dengan Hari Kenaikan Tuhan pada tanggal 12 Mei 1994. Acara peresmian Gedung Gereja Santa Maria tersebut dihadiri Pejabat Pemerintahan Kodya dan Kabupaten Tangerang, perwakilan dari Paroki se-KAJ, organisasi-organisasi se-KAJ, dari perwakilan Gereja Kristen yang ada di Tangerang dan para tamu undangan lainnya serta +/- 3.000 umat Paroki Santa Maria Tangerang.
Dalam acara tersebut juga dimeriahkan oleh rombongan degung yang menambah semaraknya acara peresmian tersebut. Peresmian Gedung Gereja Santa Maria dilaksanakan oleh Bapak Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Sukoto SJ. dan Bapak Wali Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang yang dalam hal ini diwakili oleh Bapak SEKOTDA.
Setelah selesai acara peresmian pembukaan selubung papan nama ”Gereja Santa Maria” oleh Bapak SEKOTDA dilanjutkan dengan acara Misa Kudus yang dipimpin oleh Bapak Uskup. Didalam sambutannya Bapak Uskup menekankan agar gedung yang telah dibangun dengan susah payah ini hendaknya dipelihara dengan baik, dalam arti bukan hanya gerejanya saja yang tetap dipelihara melainkan juga kwalitas iman umatnya, demikian diantara pesan beliau.
Setelah Misa Kudus selesai dilanjutkan dengan acara ramah tamah di ruangan aula (ex. Gedung SMA Strada) yang dihadiri oleh para tamu undangan dari paroki-paroki seKabupaten Tangerang, para anggota DP dan organisasi lainnya. Sangat disayangkan bahwa dalam acara ramah tamah tersebut Bapak Uskup tidak dapat hadir sehubungan dengan beliau harus kembali ke Jakarta.
Buku kenangan dan buku panduan misa yang jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh panitia yang dimotori oleh Romo Wiharjono S.J mempunyai nilai arti yang besar, sehingga bagi umat buku kenangan tersebut dapat menjadi koleksi kenangan yang cukup indah di rumah masing-masing.
Secara umum acara Peresmian Gedung Gereja santa Maria Tangerang dapat dikatakan cukup baik dan cukup meriah, terutama tanggapan dari segenap umat Paroki yang cukup antusias dalam mensukseskan acara tersebut.
Kini Gereja baru sudah hadir sebagaimana yang diinginkan umat. Rasa lega umat yang telah berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung tentu selega para panitia. Tapi tentu saja masih banyak hal yang perlu diperbuat umat. Membangun Gereja tidak pernah selesai. Tapi yang paling penting adalah dengan Gereja yang baik dan megah, kita juga harus bersama-sama membangun diri kita sebagai Gereja yang utuh. Hendaknya Gereja kita dijaga dengan baik. Karena semuanya itu hasil perjuangan yang panjang.
Setelah pembangunan Gereja selesai tetapi tugas pengembalaan Romo Bin tetap tak pernah berhenti, bahkan bertambah. Maklum, daerah Tangerang terus saja bertumbuh dengan pesat, baik pemukiman maupun industrinya. Warga pendatang terus saja mengalir, arus tenaga kerja pun meninggi. Dari sekian banyak kaum buruh yang berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka butuh sapaan sang pengembala.
Pembangunan Tak Berhenti...
1997 – sekarang
Terbukti setelah Rm. Bintarto mendapat tugas pengembalaan di tempat lain, Paroki Tangerang tidak pernah berhenti membangun. Dikarenakan kebutuhan umat yang kian berkembang, segala sarana pun dibangun untuk mendukung pertumbuhan umat. Pada tanggal 15 Febuari 1997 Paroki Tangerang kembali mendapatkan seorang penggembala baru, yakni Pastor BRATAKARTANA SJ. Yang kemudian pada tahun 1998 menjadi Pastor Kepala sampai sekarang. Hampir sepuluh tahun Rm BRATAKARTANA SJ. yang biasa disapa Rm Broto ini berkarya di Paroki Tangerang, ada banyak pembangunan yang terjadi. Meski diungkapkan beliau bahwa saat ini kita hanya tinggal merawat apa yang telah ada dan meningkatkan partisipasi umat untuk saling melayani satu dengan lainnya. Perkembangan umat yang semakin pesat harus didukung juga dengan pemenuhan akan kebutuhan rohani mereka. Sebuah bangunan gereja belumlah cukup, maka untuk menampung aktivitas umat dalam komunitas yang ada di Paroki dibangunlah Aula St. Maria yang terdiri dari 3 lantai dan aula tersebut diresmikan pada tanggal 7 Desember 1997 serta Aula St. Agustinus pada tanggal 28 Juli 2002.
Perkembangan umat Paroki Tangerang nampak jelas jika kita melihat jumlah umat yang mengikuti perayaan ekaristi setiap minggunya. Terutama pada hari Minggu pkl. 08.30 dimana banyak umat yang tidak mendapat tempat duduk meskipun Gereja sudah diperluas. Oleh sebab itu segala cara pun diusahakan agar umat mendapat kenyamanan saat mengikuti perayaan ekaristi. Lahan yang ada di lingkungan gereja pun dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan umat. Maka, dibuatlah sebuah tenda permanen yang saat ini terletak di sisi kiri dan kanan Gereja. Di bawah tenda itulah umat dapat duduk untuk mengikuti perayaan ekaristi setiap minggunya.
Perkembangan umat Paroki St. Maria juga tampak jelas dengan pemekaran wilayah dan lingkungan. Sampai saat ini tercatat 11 wilayah dengan 57 lingkungan yang ada di Paroki Santa Maria. Selain itu Paroki Santa Maria juga terdiri dari Stasi Gregorius yang terletak di Kota Bumi dan Stasi Imaculata yang terletak di Teluk Naga. Dengan presentase pertumbuhan umat selama 10 tahun terakhir sebagai berikut.
Selain jumlah umat yang kian bertambah di lingkup teritorial gereja, maka lingkup kategorial pun seolah tidak pernah berhenti untuk menampung umat yang ingin berkarya demi kemuliaan Tuhan kita Yesus Kristus. Saat ini sudah banyak komunitas yang tumbuh seperti Legio Maria, Persink, Putera Altar, Puteri Sakristi, Mudika, Persekutuan Doa Karismatik Katolik Dewasa dan Mudika, Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus, E-Club, Teater Teduh, Majalah Terang dan masih banyak lagi.
Seperti yang kita ketahui bersama pembangunan secara fisik tidak hanya terjadi di Gereja Santa Maria saja melainkan di seluruh wilayah yang termasuk dalam Paroki Santa Maria, seperti di Marfati yang baru saja mengalami pembangunan. Dimana gedung serba guna yang ada di Marfati dibangun menjadi sebuah Graha Lansia Marfati. Kini bangunan. tersebut ditempati oleh +/- 42 orang jompo. Selain itu pada waktu yang bersamaan juga dibangun sebuah bangunan yang kini bernama Guest House Marfati yang biasa digunakan oleh umat Paroki St. Maria untuk mengadakan sebuah kegiatan.
Inilah wajah Paroki SANTA MARIA TANGERANG yang seolah tak pernah berhenti mekar. Para gembala telah bekerja keras terlebih dahulu, kini tentu saja para domba haruslah terus mengimbangi pelayanannya, tak lagi hanya sekedar menanti namun terus membangun kualitas iman atas semua yang telah tersedia untuk kita demi Kebesaran namaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar