Senin, 28 November 2011

PERJALANAN IMAMAT PASTOR SUDJOKO MSC ( MANADO )


Bagaimana Akan Kubalas Segala Kebaikan Tuhan?
(Maz. 116: 12-13)
Sharing Imamat Pst. Albertus Sujoko, MSC
Ulang tahun Imamat dengan Angka Cantik
Saya merayakan hari ulang tahun imamat pada 21 – 11 – 21 – 11: maksudnya: Tanggal 21 bulan sebelas imamat yang ke dua puluh satu tahun dua ribu sebelas. Saya merayakannya pada saat saya mendapatkan cuti selama beberapa bulan dari tugas saya mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng; yaitu sekolah pendidikan calon pastor di Manado, Sulawesi Utara. Salah satu permenungan yang bisa saya bagikan kepada para pembaca di sini adalah sebuah refleksi pengalaman iman pribadi dan sederhana yang bertumbuh di dalam diri saya sebagai seorang manusia. Saya ingin menyebutkan beberapa hal kecil saja yang berkaitan dengan pengalaman masa kecil dan pengalaman menjalankan tugas sebagai imam dan dosen.
Belajar berdoa dari ayah
Panggilan untuk berdoa saya rasakan sejak kecil, khususnya dari ayah. Orangtua saya semula bukan kaluarga katolik. Mereka baru dibaptis pada tahun 1996 pada waktu saya sudah menjadi imam selama 6 tahun dan sudah 3 tahun kembali dari studi S2 di Roma. Sebelumnya bapak-ibu saya agama Islam kejawen. Setiap malam Jumat Kliwon bapak saya membuat suatu doa di hadapan sesaji berupa makanan dan minuman yang diperuntukkan bagi para leluhur yang sudah meninggal. Sesaji itu berupa nasi, daging, lauk-pauk, rokok, daun sirih, teh manis dan kue-kue kesukaan simbah (opa) waktu hidup. Waktu saya masih kecil, saya suka mengintip dan mencuri dengar apa yang dikatakan bapak saya di dalam doa-doa itu. Karena waktu itu saya berfikir bahwa saya adalah anak pertama dari 5 orang adik-adik saya, maka saya harus tahu doa apa yang harus saya ucapkan untuk menggantikan peran bapak saya nanti. Keinginan saya untuk mempelajari doa secara sembunyi-sembunyi itu saya tafsirkan sebagai panggilan Tuhan untuk berdoa. Intinya saya diajari oleh Tuhan melalui hati nurani saya bahwa saya perlu belajar berdoa. Persoalan berdoa yang bagaimana dan belajar berdoa dari siapa itu nomor dua. Kalau dilihat dari teologi katolik seperti yang saya ketahui sekarang, maka doa bapak saya itu adalah sesat. Tetapi kalau saya ingat dari isi doanya yang ternyata ditujukan kepada Yang Mahakuasa supaya melindungi keluarga, supaya anak-anak sehat-sehat dan sekolahnya berhasil, supaya saudara-saudara di tempat yang jauh selalu diberkati Tuhan, maka doa bapak saya itu sama sekali tidak sesat. Tentang penggunaan barang-barang seperti makanan dan minum itu, ternyata juga sama dengan Ekaristi yang menggunakan makanan dan minuman dalam bentuk lain. Yang satu menggunakan nasi dan lauk-pauk serta teh manis, yang lain menggunakan hosti dan anggur. Dosen dogmatik saya menjelaskan mengapa perayaan Ekaristi tidak menjadi idolatria padahal menggunakan makanan dan minuman seperti juga dipakai oleh praktek doa agama kafir yang kita anggap idolatria? Bedanya karena Perayaan Ekaristi memiliki dasar historis, biblis dan teologis pada seorang manusia bernama Yesus dari Nazaret yang adalah Putera Allah. Ia telah mengorbankan diri-Nya dan membagi-bagikan diri-Nya sebagai santapan keselamatan. Jadi tanda sakramental dalam ekaristi itu bukan tanda kosong, melainkan benar-benar makanan rohani berupa Tubuh dan Darah Kristus.
Tanpa disadarinya, bapak saya telah mengajari saya untuk berdoa seolah-olah seperti akan merayakan ekaristi. Bapak saya hanya seorang petani yang tamat sekolah SMP desa zaman Belanda, yang disebut sekolah ongko loro. Sekolah itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak pribumi supaya tahu membaca, menulis dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa jawa dan tidak diajari bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda. Tetapi dalam pengalaman pribadi saya, bapak saya itu telah berperan penting dalam membentuk kerohanian saya dan kerinduan saya untuk berdoa. Memang rupanya itulah yang berkenan kepada Allah. Ia berkenan menyatakan hal-hal semacam itu kepada orang-orang kecil dan sederhana, dan menyembunyikannya bagi orang cerdik pandai.  Tanggal 12 Mei 2010 ini bapak saya akan genap berumur 82 tahun, masih hidup dan masih sehat, dan matanya juga masih terang setelah menjalani operasi katarak. Ia sudah menjadi orang katolik dan juga rajin berdoa, tetapi saya tidak tahu apakah doanya sudah berubah atau masih sama dengan yang dulu. Yang jelas ia tidak lagi membuat sesaji pada malam Jumat Kliwon, dan sekarang rajin ikut misa di Gereja dengan penghayatan iman yang hanya Tuhan yang tahu. Mungkin Tuhan yang ia bayangkan masih sama dengan Tuhan yang ia pakai untuk mengajari saya berdoa dulu. Mungkin pengetahuan imannya tidak berbeda jauh dari pengatahuannya yang dulu. Tetapi saya percaya bahwa Tuhan melihat maksud hati dan kehendak baik dari setiap orang.
Dalam cerita wayang ada kisah tentang Pendawa Lima yaitu lima anak dari Pandu Dewanata. Bapak saya adalah anak kedua dari lima bersaudara. Dalam cerita wayang itu anak kedua bernama Bimaseno yang dikenal sebagai orang yang paling bodoh tetapi jujur. Masih melekat dalam ingatan saya bahwa bapak saya memang mengidentifikasikan dirinya dengan Bimaseno yang bodoh tetapi jujur itu. Kalau dibandingkan dengan kakak dan adiknya yang lain yang lebih pinter dan lebih banyak bicara, bapak saya memang tidak bisa berbicara. Tetapi ia memang seorang yang jujur dengan suara hatinya. Pada suatu hari saya pulang di rumah setelah saya kembali dari studi di Roma tahun 1993. Waktu itu saya duduk di meja makan bersama bapak dan saya bertanya, “Mangké manawi bapak sedo, kulo sembayangé pripun?” (nanti kalau bapak dipanggil Tuhan saya berdoanya bagaimana?). Karena saya romo maka saya akan mempersembahkan misa, tetapi bapak belum katolik? Dan bapak saya menjawab: Lha ya kepiyé manèh, lha wong durung anak krenteg ing ati” (Ya bagaimana lagi kerena saya belum merasakan panggilan di hati). Kira-kira tiga tahun kemudian, sekitar paskah 1996, seorang romo dari paroki Kutaarjo menelpon saya memberitahu bahwa bapak-ibu saya akan ikut baptisan pada malam paskah. Saya ditanya apakah saya bisa pulang untuk membaptis mereka. Saya menjawab bahwa saya ada tugas paskah di manado sebagai pastor paroki Pineleng, jadi romo saja yang membaptis mereka pada malam paskah itu bersama dengan para calon baptis lainnya. Selama pelajaran agama satu tahun lamanya bapak-ibu saya tidak pernah memberitahu saya. Saya tidak tahu alasannya mengapa kemudian bapak berubah pikiran kemudian ikut pelajaran agama dan ingin dibaptis. Saya menduga karena semua anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cuku adalah katolik atau menjadi katolik, hanya tinggal mereka berdua yang belum. Tuhan sangat baik pada saya. Tuhan bukan hanya memanggil saya menjadi imam, melainkan memanggil bapak-ibu dan semua saudara saya menjadi katolik. Memang memeluk agama tidak bisa dipaksakan. Dan kalau mereka tidak merasa terpanggil untuk menjadi katolik pun kita diajari untuk toleransi dan menghormati. Namun kenyataan bahwa mereka akhirnya dibaptis untuk saya menjadi berkat yang melimpah dari Tuhan. Kebaikan Tuhan semakin saya rasakan karena pada ulang tahun saya yang ke-50, bapak-ibu saya masih hidup dan masih sehat. Padahal waktu saya masih sekolah di SPG dulu, bapak selalu sakit kalau dimintai uang sekolah atau uang kost karena stress. Setelah semua anaknya mandiri dan tidak merepotkan mereka lagi, orangtuaku malah tetap sehat di usia lanjut mereka. Bagaimana akan kubalas semua kebagikan Tuhan ini?
Diutus Belajar di Roma
Saya merasakan bahwa saya diistimewakan oleh Tarekat. Waktu saya selesai tingkat VI di STF Seminari Pineleng, saya menjalani tahun diakonal di Skolastikat dan mengajar di Seminari Pineleng untuk semester I. Saya pulang ke Jawa bulan November 1990 untuk menerima tahbisan imam dari Mgr. P.S. Hardjasoemarta MSC di Gereja Katolik Pekalongan tanggal 21 November itu bersama dengan tiga teman lain.  Selesai tahbisan dan misa-misa pertama di Jawa Tengah  saya kembali ke Pineleng untuk melanjutkan mengajar semester II dan sudah menjadi imam.  Ada rasa bahagia telah menjadi imam dan ada rasa bangga dipilih menjadi dosen. Baru enam bulan tahbisan, saya sudah dikirim ke Roma untuk Studi. Provinsial waktu itu Pastor P.C. Mandagi, MSC yang adalah superior saya di skolastikat sudah kenal baik dengan saya. Mungkin karena itu maka saya tidak perlu menunggu neomis sampai 2 tahun seperti lazimnya, melainkan bisa langsung berangkat ke Roma bersama beberapa teman yang tahun itu dikirim studi ke Roma. Saya berangkat bulan Juni 1991 dan kembali dari Roma bulan Juli tahun 1993. Empat semester yang disediakan untuk studi S2 bisa selesai sesuai dengan yang diharapkan. Tahun 1998 adalah waktu saya untuk cuti setelah 5 (lima) tahun bekerja. Tetapi Provinsial MSC, atasan saya, meminta saya untuk tidak usah cuti melainkan melanjutkan studi S3 saja ke Roma. Saya waktu itu tidak berminat untuk melanjutkan studi karena untuk menjadi dosen di Pineleng kebanyakan Licentiat sudah cukup. Tetapi atasan saya itu tidak mau mendengarkan pendapat saya, melainkan langsung menulis surat yang isinya memberhentikan saya sebagai dosen STF SP dan mengirim saya untuk Studi. Berbeda dari keberangkatan saya ke Roma yang pertama, kali ini saya merasa malas dan stress berat. Karena saya tahu kemampuan saya hanya pas-pasan saja dan saya tidak tahu mau memilih tema dissertasi tentang apa. Tetapi saya pergi juga dengan perasaan berat dan sakit maag yang semakin terasa sebagai ikutan dari stress yang saya alami waktu itu. Puji Tuhan bahwa tidak sampai 2 tahun kemudian saya bisa menyelesaikan studi S3 itu. Pertama karena faktor penyelenggaraan Ilahi yang di luar jangkauan nalar saya. Saya waktu itu tinggal di rumah Generalat MSC bersama pater General dan Stafnya. Salah seorang staf di situ adalah Pst. Paul Brennen , MSC dari Australia yang bisa membantu mengoreksi bahasa Inggris saya sebelum dimasukkan ke Promotor dissertasi saya Prof. Brian Johnstone, CSsR, yang juga orang Australia. Rupanya faktor “Australian English” ini yang membuat teks naskah saya tidak terlalu banyak coretannya dari Promotor, karena sudah banyak dicoreti di rumah oleh Paul Brennen. Kemudian saya mendengar bahwa enam bulan setelah saya pulang ke Manado, Paul Brennen juga pulang ke Australia. Padahal Paul baru berada di Roma enam bulan sebelum saya datang. Oh, Tuhan, betapa tak terselami kebaikan-Mu padaku. Satu bantuan lagi diberikan kepadaku untuk membuat ujian doktoralku dipercepat. Pembaca kedua dissertasi saya, Prof. Terence Kennedy memanggilku dan memberitahu bahwa mulai bulan Desember 1999 dia akan sabbatical year atau cuti selama satu tahun. Jadi saya bisa ujian setelah ia pulang cuti tahun depan atau dimajukan sebelum dia pergi cuti. Lalu saya menghadap Prof. Johnstone untuk menyampaikan masalah itu dan dia katakan bahwa saya bisa ujian sebelum Prof Kennedy berangkat cuti. Maka jadilah faktor-faktor itu memperlancar studi saya di Roma, karena dari pihak para penguji sendiri mengusahakan supaya ujian saya dipercepat, tentu dengan pertimbangan bahwa dissertasi sudah dianggap layak untuk ujian. Hari itu saya sangat bahagia karena mendapat dukungan dari para konfrater di rumah Generalat. P. J. Mangkey, MSC provinsial MSC sekarang, saat itu menghadiri ujian saya karena beliau menjadi assiten General untuk dua periode di Roma.

Menjadi Ketua Sekolah Tinggi Calon Pastor
Saya ingin mengulangi sekali lagi betapa Tuhan sangat baik padaku dan betapa Tarekat MSC mengistimewakanku. Menjadi imam-biarawan MSC saja sudah membuat hidup saya berubah total dari anak petani desa menjadi seorang pemimpin agama yang dihormati. Ditambah lagi dengan kepercayaan tarekat untuk mengirim saya studi dan kemudian diberi kehormatan untuk menjadi salah seorang staf pengajar di Alma Mater Seminari Tinggi Pineleng yang saya kagumi dan saya banggakan. Kemudian saya menjadi ketua STF SP. Waktu itu Uskup dalam perjalanan panjang dengan mobil ke Kotamubagu dan sms saya. Uskup mengatakan bahwa karena ada waktu dalam perjalanan panjang itu maka beliau berfikir-fikir untuk mencari Rektor Unika De La Salle tahun 2003 itu untuk menggantikan P. Yong Ohoitimur, MSC yang sudah berhenti. Beliau memikirkan nama saya dan bertanya kepada saya. Hari itu saya langsung stress berat dan malamnya tidak bisa tidur. Saya kemudian menjawab Uskup bahwa saya tidak berani untuk menerima tugas berat itu, apalagi menggantikan P. Yong yang jauh lebih mampu dalam kepemimpinan daripada saya. Rupanya kemudian Uskup berfikir untuk meminta John Montolalu menjadi Rektor De La Salle dan saya bisa menggantikan dia menjadi ketua STF SP. Atau saya mengusulkan kepada Mgr bahwa John saja ke De La Salle dan saya bisa ke STF SP. Saya tidak ingat persis lagi. Waktu itu John baru satu tahun menjabat ketua STF SP untuk periode kedua. Tetapi sekarang baru saya sadar bahwa kendati ada percakapan atau sms-an seperti itu dengan Uskup, namun kenyataannya pemilihan langsung Ketua STF SP dilaksanakan. Kalau waktu itu saya tidak mendapat suara terbanyak, maka cerita di atas ini juga tidak pernah berani saya ungkapkan. Namun kenyataannya bahwa sejak September 2003 saya menjadi ketua STF SP, entah karena dipilih oleh senat dosen atau diminta oleh Uskup, atau keduanya atau salah satunya, saya tidak ingat lagi. Kehormatan ini dipercayakan kepada saya sampai bulan September 2011.
Tantangan Panggilan
Setelah menceritakan semua hal di atas yang ada kesan kebanggaan atau bahkan  mungkin sudah ke arah kesombongan, saya ingin kembali kepada diri saya sendiri sebagai seorang imam MSC. Usia saya sekarang sudah tidak muda lagi, walaupun juga belum tua. Namun saya masih diperkenankan setia sampai pada saat ini dalam imamat dan itu  sungguh sangat membahagiakan. Saya tidak pernah merasa krisis panggilan sampai ingin keluar dari imamat. Saya pada umumnya merasa bahagia sebagai imam. Ada pengalaman dicintai dan mencintai tetapi tidak sampai membuat imanku goyah dan ingatanku pendek sehingga lupa Gereja, keluargaku dan umat. Sebaliknya pengalaman mencintai dan dicintai itu membuat hidup saya sebagai imam selibater  lebih berwarna, karena ada sentuhan perasaan dan afeksinya dan tahu apa artinya mencintai tanpa memiliki. Cinta seorang imam selibater dalam relasi dengan seorang wanita itu bisa diumpamakan seperti seorang pengagum bunga mawar. Pengagum bunga mawar itu setiap hari mamandangi, menyirami dan merawat bunga mawar itu. Bunga mawar itu tetap hidup di sana, tetap mekar dan harum mewangi di tempat ia tumbuh dan berkembang. Tetapi kalau imam itu kemudian meninggalkan imamatnya dan memilih wanita relasinya itu. Maka ia bagaikan seorang perusak yang memotong tangkai bunga mawar itu dan dibawa pulang ke rumahnya untuk dijadikan hiasan ruang tamu. Dalam dua hari bunga mawar itu akan mati dan kering. Cinta imam selibater bisa mengarah pada dua kemungkinan itu, sebagai pengagum atau perusak. Saya tidak mau bercerita lebih mendetail tentang pengalaman pribadi yang satu ini, karena bisa menimbulkan salah-tafsir. Saya hanya menyinggungnya sedikit untuk menyatakan bahwa pengalaman dijatuhi cinta kemudian jatuh cinta ada juga dalam hidupku. Saya sebenarnya ingin tahu pengalaman beberapa teman pastor yang berani, tega, rela, nekat (kata apa yang lebih tepat saya tidak tahu) untuk meninggalkan imamat karena relasi dengan wanita. Saya juga ingin tahu pengalaman pastor yang kendati pernah mengalami jatuh cinta atau jatuh ke dalam dosa, namun kemudian bangkit dan bertobat sehingga tidak sampai meninggalkan imamat. Saya juga ingin tahu pengalaman pastor yang seumur hidupnya memiliki hati murni sejak seminari kecil sampai sebagai imam tua. Ia bisa menjaga kemurnian hatinya dan kesucian jiwanya seperti didambakan oleh semua umat dan oleh para imam itu sendiri. Sebagai pembina di seminari saya juga mengetahui beberapa frater mengalami jatuh cinta. Ada yang bisa mengolah perasaan cinta itu dan tetap maju dalam panggilan kemudian menjadi imam. Yang lain lagi merasa bahwa perasaan cinta itu membuat ia berefleksi kembali tentang panggilan imamatnya dan mengubah keputusan untuk melanjutkan cinta itu secara bertanggungjawab dengan gadis pujaan hatinya. Salah seorang tokoh Gereja yang berani bersharing tetang pengalaman pribadi dalam relasinya dengan wanita adalah St. Agustinus dalam bukunya Confessiones yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Pengakuan-pengakuan. Walaupun itu terjadi sebelum ia menjadi kristen dan menjadi uskup, namun pengalaman seperti itu toh tidak akan berani diceritakan secara terbuka karena akan menimbulkan rasa malu yang besar. Tetapi St. Agustinus berani melakukannya dan Gereja tanpa ragu memberikan gelar kudus, pujangga Gereja dan bapa Gereja kepadanya. Saya setuju dengan dekrit Perfectae Caritatis tentang hidup membiara yang menyatakan bahwa kesucian adalah kesempurnaan cinta kasih. Kesucian bukan kesuksesan menghidari dosa seumur hidup, melainkan kemampuan untuk memurnikan cinta dan kerendahan hati untuk bertobat terus menerus dari dosa-dosa.
Semoga dikasihilah Hati Kudus Yesus di mana-mana!

Kakak dari Bapak Antonius Sujiwo ( Paroki Santo Barnabas - Pamulang )

Minggu, 27 November 2011

PELAYANAN KESEHATAN UNTUK PARA LANSIA DI GEREJA KATOLIK SANTO BARNABAS

Minggu , 27 November 2011 di Ruang Santo Yohanes Paulus jam 09.00 s/d selesai diadakan pengecekan Gula dan Darah untuk para Lansia ( warga senior ) yang rutin diadakan oleh Seksi Sosial Paroki dan bersama para tim Medis yang melayani dengan setia ,sebagai ujud kepedulian kepada warga umat Katolik yang memiliki usia yang sudah tua.
Dari kegiatan ini tentunya sangat membahagiakan para Lansia juga Keluarga di Paroki Santo Barnabas yang memiliki Orang Tua yang sudah sepuh agar kesehatan mereka tetap terjaga.
Tentunya kegiatan ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kerjasama dengan para umat Katolik di Paroki Santo Barnabas - Pamulang,kerjasama sama yang diharapkan adalah memberikan informasi akurat tentang keberadaan para Lansia di rumah Umat Katolik yang Orang Tua nya tinggal bersama mereka.



Rabu, 23 November 2011

INILAH PROFILE HIDUPKU



Tak Kenal maka Tak Sayang itulah pribahasa Indonesia , bila ada umat baru , tetangga baru , atau Pastor baru yang datang di Paroki Santo Barnabas – Pamulang, Setelah beberapa lama di Paroki Santo Barnabas – Pamulang tidak memiliki sosok seorang Pastor muda yang di Harapkan oleh para orang tua di Paroki Santo Barnabas  yang dapat menjadi Pendamping dari berbagai usia Orang Muda katolik ,akhirnya datanglah paket istimewa dari Kongregasi SCJ yang mengutus Sosok Pastor muda , energik , bersahaja , gaul dan yang punya hobi main music dan membaca.Nama Sang Pastor muda yang satu ini adalah Pastor Ch. Wahyu Tri Haryadi SCJ.
Pastor  Wahyu adalah putra dari Pasangan Bapak Tarsisius Warsito ( alm tahun 1988 ) dan Ibu Yosephin Herumiyati , Pastor Wahyu merupakan anak ke 3 dari 5 bersaudara yang lahir pada Kamis pon 16 November 1978 di Tatakarya , Way Abung , Lampung Utara,Dibaptis pada bulan Desember 1978 dengan nama pelindung Christophorus.
Disela kesibukan Pastor melayani umat di Paroki Santo Barnabas – pamulang ,aku sempat berbincang – bincang santai di Pastoran,Pastor yang memiliki tinggi tubuh 165 cm , dengan berat badan 50 kg ,beliau banyak cerita seputar umat serta orang muda Katolik yang baru beliau kenal di Paroki Santo Barnabas,banyak cerita unik , dan banyak tugas yang harus beliau laksanakan dalam mendampingi Orang Muda Katolik di Paroki Santo Barnabas yang memiliki sejuta cerita.
Sesulit apapun tugas yang akan beliau lakasanakan selama beliau melayani di Paroki Santo Barnabas akan laksanakan tentunya adanya kerjasama yang baik antara Pastor Wahyu dan Orang Muda Katoliknya,tanpa adanya kerjasama sudah tentu tidak dapat menghasilkan suatu ma perubahan yang diharapkan di Paroki Santo Barnabas.
 Pastor Wahyu pernah menjalani masa sekolah di TK Dharwanita Tatakarya Lampung Utara ,kemudian dilanjutkan di SD Negeri I Tatakarya Lampung Utara pada Tahun 1984 – 1989 , SMP Kanisius Pakem Yogyakarta pada Tahun 1989 – 1993 ,SMU jurusan IPS di Seminari ST.Petrus Canisius Mertoyudan – Magelang pada Tahun 1994 – 1997,memasuki Novisiat di ST.Johanes – Gisting pada tahun 1997 – 1998 ,terakhir kuliah di Universitas Sanata Darma Yogyakarta tahun 1998 – 2004.
Setelah selesai studi di Universitas Sanata Darma Yogyakarta , beliau menjalankan Tahun Orientasi Pastoral di Pringsewu pada bulan Agustus 2001 sampai bulan Juli 2002 , dilanjutkan menjalankan tugas di Rumah Retret Giri Nugraha Palembang pada bulan Juni 2005 sampai dengan Juli 2011.
Ditahun 2011 Pastor Wahyu di beri tugas untuk melayani di Paroki Santo Barnabas untuk mendampingi 2 Pastor yang lebih dahulu melayani di Paroki Santo Barnabas – Pamulang yaitu Pastor Julianus Puryanto SCJ dan Pastor Jozef Kurvowski SCJ.
Selama Pastor Wahyu berada dalam seminari Menengah , beliau di Dampingi beberapa Pastor Senior seperti Pastor Sadhana Hadi SJ ( Rip ) , Pastor Broto Kartono SJ dan Pastor Rukiyanto SJ .
Di Novisiat di damping Pastor Madya Sriyanto SCJ , di Skoalstikat di damping oleh Pastor Cees Van Paassen SCJ , Pastor Marwoto SCJ , Pastor Juliwan Maslim SCJ.
Masa TOP Pastor Wahyu di damping oleh Pastor G.Zwaard SCJ , masa VVP di  damping oleh Pastor Y Sunardi SCJ , terakhir masa PenPas di damping oleh Pastor Johanes Haryoto SCJ.

Pastor Wahyu SCJ memiliki begitu banyak aktivitas pelayanan di Paroki dimana beliau bertugas sebelum beliau melayani di Paroki Santo Barnabas – Pamulang , apa saja kegiatan beliau sewaktu beliau belum di Paroki Santo Barnabas ,ini dia Kegiatannya :
SD
Ø  Misdinar di paroki tatakarya
Ø  Kelompok belajar di sd tatakarya
SMP
Ø  Drumband di kanisius pakem
SMU
Ø  Ths di seminari
Ø  OSIS =organisasi sekolah intra seminari
Ø  Mading dan majalah Paulus 
Ø  Orkestra (pegang) biola di seminari
Ø  Seminari Kelompok podium
Kuliah
Ø  Mengajar agama di SMP Stella Duce I dagen
Ø  Kelompok senthir (Bina panggilan Hidup)
Ø  Kelompok studi Dehonian
Ø  Cor unum

 Kegemaran
Ndengerin lagu-musik (easy listening-especially slow rock)
Nonton film tema romance dan humor
Baca buku yang menarik
Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang

Karya tulis:
Prana: Pengobatan alternatif  (karya tulis di seminari...hhehehehe)
Gagasan Mangunwijaya ttg option for the poor (skripsi )

Motto yang digemari
-Nothing else metter (metallica)
-Fiat voluntas Tua (st. Mary)
-jalan menuju Tuhan adalah dirimu (me)
-manete in Me et ego in Vobis (john)
-sukacitaku ada dalam Tuhan (Agustinus)
- jadilah pohon yang rindang dan kokoh   (me)
minat:
pendampingan orang muda, paroki dan karya sosial


Info tambahan :
Gol darah        : “O”
Jenis rambut    : lurus
Jenis kulit        : sawo matang, banyak tahi lalatnya..
Ukuran spatu   : 39 (biasa pake yang 40)
No cel jeans     : 38-39 (tergantung merk)
Ukuran singlet : 34
Warna              : biru tua, putih dan hitam

Selasa, 22 November 2011

URBANISASI




Urbaninasi Masalah serius Indonesia
Urbanisasi dari kata Urban (bahasa Latin) yang artinya kota. Urbanisasi berarti mengkota atau menuju kota. Orang mengartikan urbanisasi sebagai perpindahan orang dari desa ke kota. Sejak Indonesia merdeka Jakarta menjadi tujuan utama urbanisasi. Banyak orang dari desa-desa di pulau Jawa berdatangan ke kota Jakarta untuk mengadu nasib. Ada yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, untuk sekolah atau untuk pindah tempat tinggal karena pelbagai alasan. Modus orang pindah ke Jakarta biasanya mengikuti saudara, sahabat, kenalan atau tetangga di desa yang sudah terlebih dahulu berada di Jakarta dan meraih sukses dalam hidup. Setelah sampai di jakarta, maka orang-orang desa itu mencari hidup sesuai dengan modal kemampuan yang dimilikinya. Mereka yang memiliki kepandaian, ketrampilan dan ijasah sarjana biasanya lebih siap untuk mengadu nasib di Jakarta daripada orang-orang desa sederhananya yang mungkin akan menempati post-post pekerjaan pembantu rumah tangga, buruh bangunan atau pekerja di pusat-pusat perdagangan seperti pasar, toko dan supermarket atau juga rumah makan. Memang tidak ada jaminan bahwa mereka yang mengantongi ijasah sarjana dapat memperoleh pekerjaan yang baik sesuai dengan bidang ilmunya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi misalnya relasi, kesempatan, peluang, keberentungan dan nasib baik. Tidak mustahil ada banyak penganggur sarjana; dan tidak mustahil pula orang yang hanya lulus SMP atau SMA bisa mendapatkan keberhasilan dalam usahanya di Jakarta

Apa yang terjadi di Jakarta adalah contoh atau model untuk semua kota di Indonesia. Proses urbanisasi terjadi di semua kota besar Indonesia yang menerima serbuan pendatang dari desa-desa atau pulau-pulau di sekitar kota itu. Misalnya kota Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Manado dan Makassar, Timika, Jayapura, Palembang dan Medan tidak luput dari proses urbanisasi ini. Berarti urbanisasi adalah masalah nasional yang harus diatasi oleh pemerintah Indonesia secara integral dan synergis. Integral artinya secara menyeluruh, bukan hanya sebagian demi sebagian atau kota demi kota. Synergis berarti dengan memadukan berbagai unsur kekuatan di dalam masyarakat. Pemerintah berperan sangat besar dalam menata dan mengatur masyarakat untuk mengurangi proses urbanisasi ini.

Penyebab urbanisasi
Mengapa urbanisasi terjadi?  Karena tidak ada pemerataan kesempatan kerja. Karena tidak ada pemerataan pembangunan. Karena tidak ada pemerataan perkembangan dan kemajuan dalam wilayah-wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Ada kesenjangan kemajuan yang sangat lebar antara desa-desa dan kota-kota. Ketimpangan-ketimpangan itu pada gilirannya mendorong orang untuk pindah dari desa ke kota-kota. Adalah wajar bila orang-orang ingin berpindah ke kota karena di kota ada harapan untuk memperbaiki nasib hidup. Seperti pepatah mengatakan bahwa ada gula ada semut, maka keadaan kota adalah bagaikan gula yang manis yang akan menarik semut-semut dari desa-desa berdatangan mengerumuninya.
Apakah akibat dari proses urbanisasi itu? Akibatnya adalah sangat gawat. Di kota-kota besar menumpuk jumlah manusia yang melebihi daya tampung kota-kota itu. Kebutuhan dasar kehidupan seperti air bersih, lingkungan yang sehat, ruang yang nyaman tidak bisa ditemukan karena manusia begitu padat. Daya dukung alam untuk menghidupi manusia yang tinggal di kota menjadi sangat berat, akibatnya kwalitas lingkungan perkotaan menjadi kotor dan terjemar, tidak sehat dan tidak bersih. Akibat lain ialah timbulnya banyak kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Mereka adalah para penganggur  yang putus asa sehingga mencari jalan pintas dengan menjadi pencuri dan perampok demi mencari nafkah. Karena mereka tidak mendapatkan cara yang halal dalam mencari penghasilan, maka mereka yang punya hati jahat menjadi cara yang haram. Kalau mereka tertangkap maka mereka mencuri; kalau tidak tertangkap maka mereka mencari. Untuk orang-orang yang kepepet itu, hanya ada perbedaan istilah antara mencari dan mencuri. Mental semacam itu pastilah sangat buruk dan berbahaya bagi masyarakat, namun sudah biasa terjadi sebagai akitab urbanisasi. Akibat kebalikannya bisa kita lihat dari sudut pedesaan. Karena kebanyakan angkatan muda pergi ke kota, maka di desa hanya tertinggal orang-orang tua dan para janda. Untuk mendapatkan tenaga kerja guna mengolah sawah adalah sulit sekali. Ini adalah ironis dari suatu masyarakat agraris di Indonesia ini yang kenyataannya bukan negara industri, melainkan negara pertanian, namun tidak ada tenaga kerja untuk mengolah tanah-tanah pertanian. Kalau tanah-tanah pertanian tidak diolah dengan baik, maka hasil pertanian seperti padi, sebagai makanan utama, akan merosot, padahal mulut manusia Indonesia yang akan makan semakin banyak.  Akibatnya pemerintah harus import beras untuk mencukup kebutuhan masyarakatnya dengan akibat harga besar tetap murah dan petani tidak sejahtera.  Karena dunia pertanian tidak menarik, maka dunia itu akan semakin ditinggalkan, padahal dunia pertanian menjadi pendukung utama yang memberi makan masyarkat. Perut yang lapar harus diisi dengan makanan, bukan dengan pruduk-produk lain yang sekarang digandrungi orang muda seperti sepeda motor, HP, laptob, black berry dan segala produk modern yang berasal dari luar negeri.  Lihatlah betapa serius dan gawatnya masalah urbanisasi ini yang tidak mungkin diatasi oleh pemerintah yang semakin tidak becus memerintah. Masalah ini perlu diatasi oleh orang-orang muda.

Solusi Urbanisasi.Hidup di desa sama dengan di kota. Kalau di desa-desa ada listrik, televisi, supermarket, ATM,  jaringan internet, dan jalan-jalan yang bagus; kalau di desa juga tersedia kemungkinan-kemungkinan untuk  berusaha, maka orang-orang muda Indonesia modern tidak akan tertarik pergi ke kota. Mereka harus menjadikan hidup di desa dengan kwalitas kota. Penduduk desa yang memiliki kenyamanan hidup seperti di kota karena memiliki semua fasilitas yang dimiliki oleh orang kota akan merasa kasihan terhadap orang-orang kota yang kena macet setiap hari, menghirup asap kendaraan yang membuat cepat tua dan stress yang membuat sulit tidur. Karena di desa yang tenang, nyaman dan damai adalah tempat tinggal yang lebih manusiawi dan bermartabat untuk manusia. Orang-orang desa lebih lugu dan baik terhadap sesamanya. Mereka lebih ramah dan tidak bersifat kejam seperti orang-orang kota besar yang berurusan dengan polisi.

Paradigma pembangunan Indonesia harus diubah secara total. Pusat-pusat pertumbuhan baru harus diciptakan di tempat-tempat lain yang bukan kota-kota besar sekarang ini yang sudah padat. Generasi muda Indonesia harus berfikir luas bahwa Indonesia ini terbentak dari Sabang sampai merauke, dan itu sama luasnya dengan daratan seluruh Eropa dari Dubblin di Irlandia (sebelah barat Inggris) sampai di Turki. Banyak anak muda Indonesia di Pulau Jawa seperti katak dalam tempurung yang melihat dunianya hanya seluas desanya dan kota Jakarta. Mereka sama sekali tidak tertarik bahkan takut untuk pergi ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan; apalagi ke Papua. Kalau setiap anak muda di desa masing-masing tidak berminat lagi pergi ke kota, maka sebagian masalah urbanisasi akan teratasi.  
Tetapi kita tidak perlu terlalu pesimis. Biarpun pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi urbanisasi, namun masyarakat sendiri akan mengatasinya dengan cara menciptakan sendiri pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah-daerah. Mentalitas masyarakat, khususnya generasi muda yang ingin sukses di desanya, kemudian pergi ke kota untuk sekedar berlibur dan menikmati perjalanan akan menjadi solusi alamiah bagi masalah urbanisasi. Walahualam.
Penulis artikel :
Pastor Djoko MSC ( Manado )  Kakak dari Bapak Antonius Sujiwo


TOKOH DIBALIK INDAHNYA PERSIAPAN NATAL 2011


Natal akan Tiba semua Gereja Katolik di Indonesia sudah mempersiapkan diri untuk merayakan Natal dan Menghias Gerejanya.Seluruh Umat Katolik Di Dunia akan menyambut Datang nya Sang Juru Selamat Dunia ,Dari Orang Tua , Orang Muda Katolik nya semua ikut berpartisipasi dalam mempersiapkan Natal,Salah satu Gereja Katolik dimana aku berada juga sedang mempersiapkannya.
Dari Menghias Altar, membuat Dekorasi Kandang Domba dll ,Dibalik Indahnya gemerlap Lampu – Lampu Natal yang di pasang di pelataran Gereja katolik Santo Barnabas , ada tokoh – tokoh umat yang begitu Peduli akan Gereja dalam menyambut Perayaan Natal 2011,sudah jauh – jauh hari mereka bekerja untuk mempersiapkan semua agar umat dapat merayakan Hari Lahirnya Sang Juru Selamat Dunia di Hari Natal 2011 dengan Indahnya Gemerlap Lampu Hias Natal.Inilah para Tokoh Sesepuh Kita yang dari tahun – ke Tahun tetap setia menjadi tim yang slalu siap memberikan yang terbaik dan terindah untuk menghias Gereja di saat Natal ataupun Paskah.
Para sesepuh seperti Pakde Nano , Pakde Yacub , Pak Dicy , Pak Hari , Pak Afat , Pak Sigit  dll juga di bantu beberapa mudika Paroki yang juga ikut ambil bagian untuk menghias Gereja Santo Barnabas .



ALBUM KOMUNI PERTAMA 20 NOVEMBER 2011




ALBUM KOMUNI PERTAMA 20 NOVEMBER 2011




Senin, 21 November 2011

ALBUM FOTO BERSAMA KOMUNI PERTAMA 20 NOVEMBER 2011




ALBUM KOMUNI PERTAMA 20 NOVEMBER 2011




ALBUM KOMUNI PERTAMA 20 NOVEMBER 2011




ALBUM KOMUNI PERTAMA 2011


Minggu 20 November 2011 merupakan suatu kebahagiaan tersendiri untuk 116 anak yang menerima Komuni Pertama serta para  Orang Tua dari 116 anak.Misa perayaan Komuni Pertama di pimpin langsung oleh Pastor Paroki Gereja Katolik Santo Barnabas yaitu Pastor Julianus Puryanto SCJ.
Didalam Khotbah Pastor Paroki , beliau sangat berharap agar para Orang Tua yang putra - putri nya menerima Komuni Pertama dapat mendampingi putra - putri mereka dalam pertumbuhan iman katolik setelah menerima Komuni Pertama dan belajar untuk bertumbuh dalam iman katolik sejak dini dalam menghormati sakramen ekaristi yang diterima lewat komuni setiap menerima Komuni di Misa.
Pastor Jozef Kurkowski SCJ pada saat diwawancarai untuk pesan - pesan beliau , beliau juga berpesan kepada para Orang Tua yang putra - putrinya menerima Komuni Pertama agar tetap mendampingi mereka yang telah menerima komuni Pertama Karena lewat Komuni kita menerima Tubuh dan Darah Kristus dalam ujud Hosti yang sudah di berkati .

Pastor Jozef  mengucapkan selamat kepada para putra - putri Santo Barnabas yang telah menerima Komuni Pertama.Semoga tetap setia pada iman Katolik dan lebih mendalami iman Katolik dalam setiap perjalanan Hidup di keluarga,di gereja dan menghormati sakramen Kudus yang diterima lewat Komuni.

Tuhan memberkati.



Rabu, 16 November 2011

SANTA MONICA & SEJARAH BERDIRINYA GEREJA SANTA MONICA - BSD CITY




SANTA MONICA
Pelindung Ibu Rumah Tangga
Doa yang tak kunjung putus, pasti didengarkan Tuhan...
Monika lahir di Thagaste (Afrika Utara) dan dibesarkan dalam keluarga yang kehidupan imannya sangat kuat. Ia dinikahkan dengan Patrisius, seorang pejabat tinggi yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya, begitupun dengan ibu mertuanya yang tinggal serumah dengannya.
Dari perkawinannya ia memperoleh 3 anak, yaitu Agustinus, Navigius, dan Perpetua. Kehidupan perkawinannya banyak membuahkan kesedihan karena sifat suami, dan salah seorang anaknya Agustinus yang kafir dan senang berfoya-foya. Monika tidak berputus asa, ia menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk berdoa: "Semoga yang Maha Baik melindungi dan membimbing suami dan putraku Agustinus ke jalan yang benar!". Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apapun bahwa doanya akan dikabulkan.
Setelah 17 tahun berdoa, akhirnya sang suami bertobat, dan bersama dengan ibu mertuanya dibaptis dan mengikuti iman Katolik. Embun sejuk dari Tuhan menyelimuti hati Monika dengan kebahagiaan. Tetapi masih ada beban di hati Monika, yaitu putranya Agustinus yang hidupnya semakin kacau. Agustinus bergaul dengan orang-orang bejat dan hidup sesuka hatinya tanpa pernah memikirkan orang lain. Satu tahun kemudian Patrisius meninggal dunia. Kedua saudara Agustinus, Navigius dan Perpetua tekun menjalani kehidupan rohani mereka.
Monika sungguh bingung bagaimana cara mendidik Agustinus, di tengah kebingungannya itu ia meminta bantuan seorang Uskup. "Percayalah, Ibu telah begitu banyak memeras air mata, tak mungkin Tuhan membiarkan anak itu celaka," demikian hiburan dan nasihat Uskup itu kepada Monika. Tetapi nasihat itu tidak juga menentramkan hati Monika, terlebih-lebih ketika Agustinus yang saat itu berumur 29 tahun pergi meninggalkan ibunya berlayar ke Italia. Karena khawatir akan nasib anaknya, Monika pun berlayar ke Italia. Ia terus menyertai anaknya baik itu di Roma maupun di Milano.
Ia berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano. Segala doa dan usaha yang selama ini dilakukan Monika tidak sia-sia. Agustinus akhirnya dipermandikan oleh Uskup Ambrosius. Saat itu bagi Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Hal ini tergambar dari kesaksian Agustinus sendiri yang menuliskan kisah mereka ketika ingin berlayar pulang ke Afrika, "Kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik, sambil melupakan liku-liku hidup masa lampau dan menyongsong hari depan. Kami bertanya-tanya, seperti apakah kehidupan para suci di surga… Dan akhirnya dunia dengan segala isinya ini tidak lagi menarik bagi kami." Ibu berkata, "Anakku, bagi Ibu sudah tiada satu pun di dunia ini yang memikat. Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama. Sebab, segala harapan ibu di dunia ini sudah terkabul." Selama lima hari Monika jatuh sakit, dan pada hari kesembilan dengan tersenyum ia menghadap Bapa. Agustinus putranya, sekarang lebih kita kenal dengan nama Santo Agustinus.
Santa Monika (332 - 387)

SEJARAH GEREJA SANTA MONICA - SERPONG - BSD CITY


Paroki Santa Monika adalah salah satu paroki dalam wilayah gerejawi Keuskupan Agung Jakarta yang termasuk dalam Dekenat Tangerang. Saat ini berwilayah kerja pelayanan meliputi daerah dengan batas-batas:
  • SEBELAH UTARA dengan Jalan Tol Jakarta-Merak, berbatasan dengan Paroki St. Maria Tangerang
  • SEBELAH TIMUR dengan Kali Angke, berbatasan dengan Paroki St. Bernadeth-Cileduk, Paroki St. Matius Penginjil- Bintaro dan Paroki Rasul Barnabas-Pamulang
  • SEBELAH SELATAN  dengan Gunung Sindur - Parung Kabupaten Bogor (Keuskupan Bogor)
  • SEBELAH BARAT berbatasan dengan kecamatan Balaraja, Kecamatan Tigaraksa (Paroki St. Agustinus Karawaci).
Paroki Santa Monika juga dikenal sebagai Paroki Serpong, karena gedung induk gereja Santa Monika berada di Serpong, tepatnya di Kota Mandiri Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten.
Paroki ini adalah pemekaran dari Paroki St. Agustinus Karawaci dengan peningkatan status dari Stasi Ascensio selaras dengan berkembangnya jumlah umat Katolik yang ada. Oleh karena itu riwayat Paroki tidak bisa lepas dari riwayat berdirinya Stasi Ascensio sebagai cikal bakal Paroki.
Sekapur Sirih Stasi Ascensio
Semula ada 3 lingkungan di ujung selatan termasuk dalam Paroki St. Maria Tangerang, yaitu Lingkungan Margaretta, Lingkungan Yohanes VI dan Lingkungan Yohanes V. Dengan pemekaran Paroki St Maria, berdirilah Paroki St. Agustinus Karawaci. Ternyata kemudian Lingkungan Margaretta diserahkan pelayanannya kepada Paroki St. Agustinus.
Pada Misa di Aula TK Strada Nusa Melati (sekarang Sekolah Strada di perumahan Villa Melati Mas) tanggal 13 Mei 1990 yang dihadiri Pastor Ign Putranto OSC. dari Paroki St. Agustinus, beliau menjelaskan bahwa akan ada pemekaran lagi menjadi Paroki meliputi wilayah Serpong dan sekitarnya dengan penggembalaan dari Ordo Salib Suci (OSC). Atas kesepakatan umat ketiga lingkungan yang disebutkan di atas dan prakarsa tokoh-tokohnya antara lain Agustinus Mariatmo, Robert Dwi Trisna (alm.), JB. Rahmat Heryanto (alm.), Sularso dan lain-lain serta kesediaan Pastor Ign. Putranto OSC. untuk menggembalakannya, maka dibentuk stasi yang mandiri dengan menginduk pada Paroki St.  Agustinus.
Formatur Pengurus Dewan Stasi terbentuk pada hari Kenaikan Tuhan Yesus tanggal 24 Mei 1990, sehingga stasi dinamakan Stasi Ascensio. Oleh Pastor Chris Tukiyat OSC., Pastor Kepala Paroki St. Agustinus, diminta membentuk pengurus lengkap untuk dilaporkan ke Keuskupan Agung Jakarta.
Pada tanggal 19 September 1990 Pengurus Dewan Stasi diangkat resmi oleh Pastor Kepala Paroki St. Agustinus dan kemudian secara resmi pula Mgr. Leo Sukoto SJ (alm.), Uskup
Agung Jakarta, menyetujui nama Stasi Ascensio dengan surat No: 493/3.27.39/91. Stasi Ascensio makin berkembang terutama dengan umat-umat pendatang di pemukiman-pemukiman baru di seputaran Serpong. Lahirlah Lingkungan Petrus Paulus di perumahan Bumi Serpong Damai. Terus berkembang dan bertambah sehingga Aula TK Strada yang
digunakan untuk ibadah Misa mingguan menjadi terasa sempit. Terasa perlu ada bangunan untuk ibadah atau gereja yang lebih luas, di samping Aula TK akan dipakai untuk perluasan sekolah Strada.
Membangun Paroki dan Gedung Gereja
Stasi Acensio adalah stasi yang benar-benar mandiri dalam mengelola kehidupan stasinya, keperluan liturgi, melengkapi barang-barang inventaris berupa bangku, kursi, pengeras suara dan lain-lain tanpa bergantung pada induk Paroki St. Agustinus. Sebagai Stasi, Ascensio hanya sekali-sekali dilibatkan tugas tata-laksana atau rapat pleno di Paroki. Stasi Ascensio-pun akhirnya menginginkan adanya gedung gereja sendiri dan ditingkatkan menjadi Paroki.
Keinginan ini selaras dengan rencana PT Bumi Serpong Damai (BSD) dan Keuskupan Agung Jakarta dengan penghibahan tanah untuk lahan gereja seluas 3.407 m2 yang
ditandatangani pada tanggal 23 Januari 1990. Agar aktiviitas dan misa mingguan dapat diselenggarakan di BSD, maka sebelum membangun gedung gereja perlu membangun aula atau gedung serba-guna lebih dahulu yang relatif cepat dan pendanaan ringan. Dibentuklah Panitia Pembangunan Gedung Serba-guna atau PPGS yang diketuai Vincensius da Silva.


SEJARAH BERDIRINYA GEREJA KATOLIK SANTA MARIA TANGERANG






Sekilas Sejarah Gereja Santa Maria - Tangerang
1870 - 1942
Tangerang atau yang saat itu disebut sebagai Kampung Makasar memiliki sejarah yang cukup unik. Struktur masyarakat yang tadinya sangat kental diwarnai suasana pedesaan dan agraris, tiba-tiba berubah menjadi urban bahkan metropolis. Masyarakat Tangerang saat itu mengalami perubahan yang cukup hebat dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, Tangerang yang dikenal sebagai daerah pertanian, peternakan, tempat penampungan anak-anak nakal dan orang-orang pesakitan, serta tempat penampungan penderita kusta, berubah menjadi kota yang berkembang dengan pesat....
Pada tahun 1522, nama desa Tangerang pertama kali disebut oleh pengarang Portugis Barros. Saat itu, tepatnya sampai akhir abad ke-17 seluruh daerah di sebelah Barat Sungai Angke adalah wilayah kekuasaan Sultan Banten. Dalam perang antara Sultan Ageng Tirtajasa dan VOC, Tangerang diduduki oleh tentara kompeni yang membangun kubu pertahanan sederhana, sementara Sungai Cisadane dianggap sebagai perbatasan antara kedua kekuatan yang bermusuhan.Desa Tangerang diakui sebagai pos perbatasan dalam perjanjian dengan Sultan Haji (1684). Kubu bambu pelan-pelan diperkuat dan ditempati sejak permulaan abad ke-18 oleh puluhan tentara VOC yang berasal dari Makassar. Tidak jauh darinya dibangun benteng lagi dari batu (1712), yang ditempati komandan Belanda sampai 1809 dengan pasukkan Eropa. Pada kerusuhan Tionghoa sekitar tahun 1740, ”Benteng Makasar” direbut dan dihancurkan, sedangkan benteng lain bertahan terhadap tiga serangan gerombolan pemberontak Tionghoa.Selama abad ke-18 daerah Tangerang diurusi oleh residen-residen yang berasal dari keluarga kesultanan Banten. Sebelum invasi Inggris tahun 1811 benteng Tangerang diperkuat dan dipergunakan oleh pasukan kavaleri serta artileri untuk mengantisipasi bahaya kerjasama antara Inggris-Benteng-penduduk Tionghoa. Sebab pada pemberontakan Kiai Tapa tahun 1752 situasi benteng sangat rawan. Sampai tahun 1918 Tangerang menjadi bagian administratif (afdeling) sendiri, yang pada tahun 1917 mencakup 378.760 penduduk pribumi, 35.600 orang Tionghoa, 120 orang Belanda dan 20 orang Arab. Pada tahun 1918 Tangerang menjadi 'controle-afdeling' dari Batavia, namun pada tahun 1943 diangkat menjadi kabupaten sendiri.
  


Kota Tangerang sudah dikunjungi pastor pada abad lampau. Sejak tahun 1902 Tangerang resmi masuk statistik Vikariat Apostolik Batavia dengan jumlah umat 23 orang, semuanya orang Eropa. Tahun 1929, imam-imam dari Ordo Fransiskan (OFM) datang di Hindia Belanda. Mereka diserahi Paroki Kramat dan seluruh daerah Banten (Serang, Lebak dan Pandeglang) serta Tangerang. Pada 1933 ditempatkan seorang pastor tetap di Rangkas Bitung dan Tangerang. Dua tahun setelah itu, karena dirasa jarak Rangkas Bitung dan Tangerang cukup jauh, ia meminta agar Tangerang dilayani dari Batavia saja. Jumlah umat pada 1935 sudah 93 orang Eropa dan lima orang pribumi. Namun keadaan berubah drastis. Jepang menguasai bekas jajahan Belanda tahun 1942, sehingga praktis Tangerang tidak mendapat pelayanan sampai 1948.
Setelah Jepang menyerah tahun 1945 Tangerang direbut 'Rakjat Djelata', 'Barisan Keamanan Rakyat' dan kadet Akademi tentara. Karena posisinya yang strategis, Tangerang diduduki lagi KNIL setelah pertempuran sengit di Cengkareng tahun 1946. Selama perang Kemerdekaan tahun 1945-1949 dan masa sebelum G-30-S, Tangerang mengalami gangguan keamanan. Sejak tahun 1970-an perkembangan industri khususnya kimia dan tekstil, puluhan kompleks perumahan baru, jalan tol dan lapangan terbang internasional, mengubah Tangerang dan sekitarnya secara drastis.



Awal Penggembalaan Umat
1942 -1952
Pada tahun 1948 Bapak Uskup Mgr. Petrus Willekens S.J memutuskan untuk menempatkan PASTOR J. VAN LEENGOED S.J di Tangerang sekaligus sebagai pastor tentara. Keadaan saat itu tidak memungkinkan pastor untuk menemukan sebuah tempat yang layak untuk ditinggali. Sampai akhirnya pastor itu mendapat tempat di Jalan Raya 15, bekas Ramerwa School yang didirikan oleh Zending pada 1938.
Gedung di Jalan Raya 15 itu tersebut merupakan gedung bekas markas tentara Belanda selama Perang Dunia II. Namun setelah Jepang masuk ke Indonesia, maka diambil alih oleh tentara Jepang. Kemudian beralih kepada Inggris dan akhirnya kembali menjadi markas tentara Belanda.
Mgr.Willekens S.J meminta bantuan PASTOR LAURETIUS VAN DER WERF S.J yang kala itu menjadi Pastor Kepala Paroki Mangga Besar, untuk menangani Tangerang. Beliau dikenal ahli dalam misi Tionghoa. Maklum masyarakat Tangerang pada saat itu terdiri dari dua suku terbesar yaitu suku Cina yang sudah berabad-abad di sini dan suku Banten asli. Maka selama beberapa kali dalam seminggu seminggu Pastor Van der Werf selalu mengunjungi ladang barunya itu.



Pastor Van der Werf berniat memanfaatkan bekas bangunan sekolah yang terbengkalai di Jalan Raya 15 karena kebutuhan akan sebuah tempat yang permanen tak dapat lagi terelakkan. Namun pemilik yayasan sekolah tersebut tinggal di Jakarta dan kebetulan Pastor kenal baik dengan Dokter Tan Tjong Dai yang sekali seminggu melayani pengobatan di Tangerang. Dengan perantara Dokter Tan, lahan dan bangunan tersebut dibeli dengan harga Rp. 30.000,- pada 1 Juni 1950.
Keadaan sekolah tersebut sangat tidak memungkinkan untuk digunakan, maka beberapa ruang kelas kemudian diperbaiki. Daun jendela, pintu dan kusen yang sudah lenyap, dibuatkan lagi gantinya. Pastor Van der Werf mulai menetap di Tangerang, dan terus mengunjungi umat, mengajar agama para calon baptis dan mempermandikan orang Katolik baru. Bahkan Pastor juga membuka sekolah rakyat bernama STRADA, dengan tujuh orang murid pada awalnya. Pada tahun 1951 barulah sebuah bangunan berwujud berupa sebuah bekas ruang kelas yang diberi salib di atas bangunannya. Itulah Gereja SANTA BUNDA MARIA YANG BERHATI TAK BER NODA.
 

Pastor Van der Werf tak pernah kenal lelah berkarya di Tangerang maka pada 1952 Bapak Uskup Mgr P. Willekens, S.J berkenan menjadikan Tangerang yang terdiri dari 17 kecamatan di seluruh kabupaten Tangerang sebagai paroki dari Keuskupan Jakarta dengan nama HATI MARIA TAK BERNODA. (Kemudian pada 1992 atas kesepakatan Dewan Paroki dan disetujui Bapak Uskup, untuk selanjutnya Gereja dinamakan Gereja Santa Maria).





Pembangunan Fisik Terus Berkembang
1955 – 1968
Pastor WILLIAM KRAUSE VAN EEDEN S.J diangkat menjadi Pastor Kepala Paroki Tangerang merangkap pastor pembantu Paroki Toasebio pada awal Agustus 1955. Pada waktu itu jumlah umat di Tangerang sudah 117 orang Indonesia, 15 orang Eropa dan 23 orang dari bangsa lain. Pastor Krause Van Eeden kemudian mengembangkan sekolah-sekolah STRADA. Untuk itu beliau memperluas kompleks ke arah Selatan dan dijadikan sekolah SMP. Maka gereja kecil di situ lebih dikenal masyarakat umum sebagai Gereja Strada.
Pada awal 1958 beliau membeli tanah dan gudang di daerah pasar baru untuk dijadikan sekolah dasar dan rumah guru. Seiring dengan perkembangan umat dan pelayanan sekolah yang mengharuskan untuk menambah lahan kemudian pada bulan Mei 1958 beliau membeli tanah di tepi jalan raya yang kini Jl. Daan Mogot 44 untuk dijadikan asrama guru. Beliau membeli tanah di seberang RS Kusta Sintanala untuk keperluan rehabilitasi para eks penderita kusta. Disitu beliau membangun kapel dan rumah untuk guru agama. Kapel itu kemudian diresmikan pada 17 November 1960 dengan nama Kapel MARIA FATIMA, sehingga kompleks itu dikenal dengan sebutan Kompleks MARFATI. Pastor W. Krause Van Eeden S.J mengakhiri masa tugasnya pada tanggal 1 Maret 1968.





Gembala Berkarya
1968 – 1977
Setelah Pastor W. Krause Van Eeden S.J mengakhiri masa tugasnya, kembali Tangerang memperoleh gembala baru. Pastor W. Krause Van Eeden S.J digantikan oleh Pastor ANTON MULDER S.J. Saat itu umat sudah berkembang menjadi 384 jiwa. Pada tahun 1968 beliau diangkat oleh Mgr. A. Djajasepoetra,SJ sebagai pastor pertama yang menetap di Tangerang. Beliau melayani umat Katolik di Tangerang sebagai stasi dari Gereja Toasebio di Jakarta. Selain itu beliau juga mengurusi STRADA dan membuka pusat rehabilitasi bagi ex-pasien kusta ”Marfati”. Marfati adalah buah hatinya yang sungguh. Dalam pengabdiannya, Pastor Anton Mulder berusaha untuk membenahi manajemen Marfati. Disamping karya-karyanya itu beliau juga mendirikan lingkungan-lingkungan dan Dewan Pamong Sabda. Kemudian beliau juga membuka stasi pertama di daerah Ciledug.
Umat terus berkembang, semakin jelas terasa gedung Gereja tidak lagi memadai untuk menampung umat. Kemudian diadakanlah lomba merancang bangunan Gereja. Dari hasil lomba tersebut didapat lima masukan, dipilih satu yang paling tepat untuk kebutuhan umat Katolik Tangerang yang akan segera direalisasikan. Pembangunan Gereja akhirnya selesai Maret 1973 dengan biaya yang diperoleh secara swadaya umat. Pada tanggal 26 Agustus 1973 Bapak Uskup Mgr. Leo Soekoto S.J meresmikan Gereja baru tersebut.
Dari tahun ke tahun tidak dapat dipungkiri perkembangan umat kian meningkat Sampai pada tahun 1973 tercatat jumlah umat 1.690 orang di Gereja Induk, 235 di Marfati dan 71 orang di Ciledug. Pada waktu itu Paroki Tangerang sudah memiliki empat stasi. Yaitu, TELUK NAGA 14 km ke Utara, CURUG 18 km ke Barat daya, TANJUNG KAIT 28 km Barat Laut dan CILEDUG. Ada satu stasi yang merupakan limpahan dari Paroki Grogol yaitu, Stasi CENGKARENG, namun hanya berusia dua tahun karena pada 1975 Stasi Cengkareng berdiri sendiri menjadi paroki. Setelah membenahi dan mengatur serta memantapkan hati umat, pada 1 Januari 1977 Pastor Anton Mulder S.J digantikan oleh Pastor FX TAN SOE IE S.J yang sebelumnya bertugas sebagai Pastor Paroki di pinggiran Kota Yogyakarta.
Selama berada di Tangerang Rm Tan sempat terkejut, seminggu menjelang Paska tidak ada persiapan apapun di Paroki Tangerang. Berbeda dengan kebiasannya di Yogyakarta, dimana kurang lebih dua bulan sebelum Paska sudah dilakukan pembagian tugas dan mulai terdengar latihan kelompok-kelompok koor untuk persiapan lagu-lagu Paska. Akan tetapi sekonyong-konyong paroki Tangerang mulai bangkit. Kegiatan paroki, terutama di bidang Liturgi, mulai berjalan dengan adanya warga dari Perumnas. Kemudian, bermunculan real estate yang membawa bermacam-macam manusia ke paroki. Ditambah pula dengan banyaknya karyawan-karyawan berbagai perusahaan yang menjamur di Tangerang. Tidak ketinggalan pula, banyak kaum muda benteng yang mulai tertarik pada Gereja. Saat itu wilayah Tangerang sudah mulai berubah. Kota yang semula relatif sepi dan kolot ini mulai berubah dinamis.
Gereja perlu terus dibangun, kapasitas gereja harus diperbanyak, akhirnya pembangunan gedung Gereja dirasa menjadi suatu keharusan. Pastor Tan menambah bangunan Gereja sebelah kanan sampai gedung Pastoran dengan mendirikan sebuah pendopo, sehingga bisa menapung lebih banyak umat. Sedangkan di Perumnas Karawaci didirikan sebuah bangunan serba guna untuk melayani umat di daerah itu.
Selama empat sampai lima tahun sebagai Pastor Paroki Rm Tan merasakan secara nyata bagimana Roh Allah mulai menghembusi Paroki Tangerang. Pastor Tan memiliki karya yang begitu nyata. Terlihat dengan banyaknya jumlah baptisan dewasa penduduk asli Tangerang dari keturunan Tionghoa. Semuanya tidak terlepas dari karya pendidikan yang telah dirintis oleh STRADA. Sekarang secara sekonyong-konyong Paroki Tangerang menjadi hidup, bergerak serta berkembang di segala bidang. Tidak hanya terbatas pada jumlah umat, melainkan juga dalam kualitas kehidupan Paroki.
Keprihatinan Paroki Tangerang
1985
Pada Tahun 1985 Romo Tan mendapat tugas baru di ladang yang jauh yaitu Timor-Timur. Paroki Tangerang akhirnya “kosong” tanpa pastor kepala. Namun untuk sementara, sekitar satu bulan dipegang oleh Pastor SEWAKA S.J. dan pada pertengahan tahun 1985 Pastor TARSISIUS SUJUDANTO S.J mulai bertugas sebagai Pastor Kepala Paroki, setelah usai tugas belajar Tersiat di Filipina.
Sama seperti pastor-pastor yang pernah datang ke Paroki Tangerang, keprihatinan yang sama pun muncul ketika misa pertama Pastor pSujudanto di Paroki Tangerang karena umat yang datang begitu banyak tetapi tidak mendapat tempat duduk. Maka beliau pun tergerak untuk berbuat sesuatu. Apalagi setelah mendapat “sentilan” dari Bapak Uskup Mgr.Leo Soekoto S.J ketika berkunjung ke santa Maria. Saat itu Bapak Uskup berkomentar, Gereja Tangerang adalah Gereja emper yang diberi emper. Beliau pun berpesan supaya didirikan Gereja yang sesungguhnya dan umat diharapkan ikut serta membangun.
Keprihatinan Pastor Sujudanto ditambah dengan ”sentilan” dari Bapak Uskup menambah niat yang besar dari dirinya untuk memperluas gereja dengan cara menambah bagian dari Gereja. Langkah pertama yaitu membuat Gua Maria yang didepannya diberi konblok dengan tujuan agar dapat menampung umat lebih banyak saat misa berlangsung. Tak hanya itu, di Teluk Naga sentuhan Romo Sujudanto terwujud dalam bentuk kapel, sedangkan Tanjung Kait baru sampai tahap fondasi. Sebagai sarana komunikasi antar umat Paroki, beliau memprakarsai Berita Paroki dan Majalah Terang.
Sayangnya, beliau hanya satu setengah tahun berkarya di Paroki Tangerang. Pastor Sujudanto harus menggembala di tempat lain dengan membawa kegembiraan atas apa yang telah ia berikan di Paroki Tangerang.





“Pembangunan Gereja Tak Terelakkan Lagi...”
1987 – 1994
Untuk kesekian kalinya Paroki Tangerang memperoleh gembala baru di pertengahan tahun 1987. Pastor SIEGFRIED BINZLER BINTARTO S.J yang saat itu usai bertugas di Semarang hadir di Paroki Tangerang pada tempat dan waktu yang tepat.
Pastor yang dikenal sebagai “Pastor Pembangunan” ini melakukan sentuhan pertamanya dengan membuka dinding yang memisahkan Gereja dengan sekolah, dan di ganti dengan terali besi, sehingga kian banyak umat yang dapat tertampung. Tenyata itu saja masih tidak cukup. Gereja yang lebih besar, itulah jalan keluarnya. Beliau lantas membentuk Panitia Pembangunan Gereja, dan meminta bidang teknis untuk segera membuat rancangan Gereja Baru. Namun tidak terlepas dari kendala yang paling mendasar seperti yang diungkapkan oleh pitutur Jawa, jer basuki mawa bea yang artinya setiap usaha pasti membutuhkan biaya. Berbagai kiat pun digelar PPG untuk menjaring dana seperti dimulai dari malam dana yang diselenggarakan pada tanggal 23 Juli 1988 diGedung Olah Raga Tangerang, penjualan kupon berhadiah sampai edaran sumbangan dari umat. Semua panitia ikut terlibat dalam mengusahakan pencarian dana, Bp. H. Chaerul Yani selaku Komisaris PPG, memotong 20 persen kepada para supplier, untuk kemudian diserahkan kepada Romo Bintarto. Demikian juga Bapak Anton Priyanto selaku Ketua Bidang dana yang juga pengusaha kendaraan bis, setiap minggunya selalu memberikan kendaraan bisnya untuk digunakan dalam rangka pencarian dana. Bahkan pernah diadakan Novena selama 9 bulan ke Sendang-sono sambil berjualan kupon berhadiah.
Namun sangat disayangkan, usaha tim teknis dan kegiatan pencarian dana yang begitu menggebu-gebu oleh umat sempat terhenti selama kurang lebih dua tahun karena sesuatu hal. Akibatnya dana yang sudah terkumpul dan di proyeksikan akan cukup untuk membangun Gereja dalam waktu dekat, terpaksa harus ditambah lagi dalam jumlah yang cukup besar. Maklum, antara lain karena terjadi banyak perubahan harga dan bahan-bahan penting yang dibutuhkan.
Sampai tanggal 28 November 1992, telah tercatat 2 kali pembentukan Panitia Pembangunan Gereja sampai dengan Peletakan Batu Pertama dan Penandatanganan Prasasti pada yakni :
1.Periode 1987-1990, PPG I diketuai oleh Bpk. Rachmat Gunawan.
2.Periode 1990-peresmian, PPG II diketua oleh Bpk. M. Tanuwibiksana.
PPG yang diketuai Bpk. M. Tanuwibiksana mulai aktif bekerja pada Agustus 1991. dana yang terkumpul saat itu sebanyak Rp. 306.880.981,00. Tentu saja jumlah sebanyak itu masih tidak mencukupi untuk membangun sebuah gereja. Tim dana pun terus meningkatkan usahanya tanpa kenal lelah. Sejak tanggal 1 Agustus 1991 tim teknisi langsung bekerja untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB). Tim Teknis PPG II tidak membuat sendiri rancangan bangunan Gereja seperti yang dilakukan PPG I, namun tim teknis PPG II juga harus bekerja keras untuk mempelajari kelayakan rancangan yang dibuat oleh konsultan.
Lahan dengan luas 7.300 meter persegi itu pada mulanya akan didirikan 2 bangunan sekaligus yaitu bangunan Gereja baru dan gedung SMA Strada. Tetapi akhirnya gedung SMA tersebut batal dibuat karena keterbatasan lahan yang ada. Lahan menjadi sempit sebab terpotong oleh garis sepadan jalan (sekitar 16 meter) dan garis sepadan sungai (sekitar 20 meter). Pada prinsipnya, pembangunan Gereja ini tidak mudah, karena sejak semula sudah menghadapi kendala terutama luas tanah yang tidak memadai. Perluasan lahan dirasa sudah tidak memungkinkan, ke depan terhalang oleh jalan Daan Mogot, ke belakang terbentur oleh Sungai Cisadane. Ke samping kiri dan kanan pun tak mungkin karena ada jalan dan tanah atau bangunan milik orang lain. Karena itu Dewan Paroki menerapkan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh PPG bersama-sama dengan Yayasan STRADA, yaitu bagaimana menempatkan diri diantara kepentingan Gereja dengan Sekolah STRADA ditanah yang sangat terbatas.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah perizinan. Menurut Bapak Drs. H. Gunawan Anwar selaku Ketua Bidang Perizinan mengatakan bahwa mengurus perizinan memang tidak mudah karena harus melewati Panitia Tiga Belas, terlebih pejabat Sosial Politik. Memang bisa dimaklumi, karena pihak pemerintah tentu harus lebih dulu mempertimbangkan berbagai aspek sosial, politik dan lainnya, supaya nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Ditambah lagi kesulitan mendapatkan izin lingkungan. Tetapi berkat partisipasi dan pengertian dari RT setempat pada waktu itu dan kesadaran untuk saling menghargai, pada akhirnya semuanya bisa diurus dan diselesaikan. Umat tentu saja menyambut kemudahan ini dengan gembira. Gereja Santa Maria berdiri berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan SK No. 452.144-HUK/1992 tanggal 17 Juni 1992.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, IMB akhirnya diterbitkan Pemda pada bulan Juni 1992. Semua pihak merasa lega dan pada tanggal 28 November 1998 dilaksanakan Upacara Peletakan Batu Pertama yang dilakukan oleh Walikota Tangerang, Bpk. Drs. H. Djakaria Machmud, Ketua PPG I Bpk. Rachmat Gunawan dan Pastor Kepala Paroki S. Bintarto S.J., sekaligus penandatanganan Prasasti oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto S.J. Dan Walikota Tangerang Bpk. H. Djakaria Machmud.
Selain masalah dari luar, PPG juga harus menghadapi masalah dari dalam kepanitiannya sendiri. Bagaimana PPG bisa membina kerjasama sehingga tujuan bersama bisa tercapai. Tak bisa dipungkiri, hal ini tentu bukan perkara mudah. Maklum, masing-masing angota PPG punya kesibukan sendiri-sendiri. Namun Bapak M. Tanuwibiksana selaku Ketua Umum PPG mempunyai kiat tersendiri untuk membina kerjasama itu. Caranya dengan selalu mengadakan koordinasi meyakini akan tanggung jawab dan kemampuan masing-masing anggota PPG. Perlu keterbukaan, saling mengisi dan saling koreksi juga dengan Dewan paroki. Sebab keterlibatan semua panitia dalam pembangunan Gereja ini adalah semata-mata tugas pelayanan yang dapat diberikan kepada Gereja. Cinta kasih Tuhan yang tidak pernah berkesudahan kepada semua umat yang mau bekerja demi namaNya memotivasi Bp. FX. Suwarno untuk mengorbankan sebagian waktu pribadinya. Sama halnya dengan Bp. Iriawan yang mengatakan jika kita menaruh salib di rumah sebagai lambang penderitaan Kristus, kita harus berani ikut ambil bagian dalam karya penyelamatanNya, agar kita boleh mewariskan Kerajaan Allah yang sudah dijanjikan kepada kita. Ini semua menciptakan kekompakan dan kebersamaan yang mendalam antara sesama panitia PPG.
Pada tanggal 29 November 1992 merupakan misa terakhir yang dilaksanakan di Gereja sebelum dilakukan pembongkaran. Awal Desember 1992, bangunan Gereja lama mulai dibongkar. Segala aktivitas Gereja dipindahkan sementara di Marfati. Pembangunan Gereja baru dimulai 14 Desember 1992 dan direncanakan selesai pada 10 November 1993. Namun, penyelesaian terlambat 1 bulan. Pihak pemborong baru bisa menyerahkan Gereja baru kepada PPG pada 10 Desember 1993.
Seminggu kemudian umat bisa bersuka cita merayakan Adven IV pada tanggal 18 Desember 1993 di tempat yang masih gres. Perayaan Natal 1993 pun bisa dilangsungkan di tempat baru nan anggun dan lapang ini. Dan untuk pertama kali pula, Perayaan Paskah 1994 berlangsung di Gereja baru ini. Semua pihak bersyukur.
Peresmian Gereja
1994
Peresmian Gedung Gereja Santa Maria Tangerang, dengan memilih waktu bertepatan dengan Hari Kenaikan Tuhan pada tanggal 12 Mei 1994. Acara peresmian Gedung Gereja Santa Maria tersebut dihadiri Pejabat Pemerintahan Kodya dan Kabupaten Tangerang, perwakilan dari Paroki se-KAJ, organisasi-organisasi se-KAJ, dari perwakilan Gereja Kristen yang ada di Tangerang dan para tamu undangan lainnya serta +/- 3.000 umat Paroki Santa Maria Tangerang.
Dalam acara tersebut juga dimeriahkan oleh rombongan degung yang menambah semaraknya acara peresmian tersebut. Peresmian Gedung Gereja Santa Maria dilaksanakan oleh Bapak Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Sukoto SJ. dan Bapak Wali Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang yang dalam hal ini diwakili oleh Bapak SEKOTDA.
Setelah selesai acara peresmian pembukaan selubung papan nama ”Gereja Santa Maria” oleh Bapak SEKOTDA dilanjutkan dengan acara Misa Kudus yang dipimpin oleh Bapak Uskup. Didalam sambutannya Bapak Uskup menekankan agar gedung yang telah dibangun dengan susah payah ini hendaknya dipelihara dengan baik, dalam arti bukan hanya gerejanya saja yang tetap dipelihara melainkan juga kwalitas iman umatnya, demikian diantara pesan beliau.
Setelah Misa Kudus selesai dilanjutkan dengan acara ramah tamah di ruangan aula (ex. Gedung SMA Strada) yang dihadiri oleh para tamu undangan dari paroki-paroki seKabupaten Tangerang, para anggota DP dan organisasi lainnya. Sangat disayangkan bahwa dalam acara ramah tamah tersebut Bapak Uskup tidak dapat hadir sehubungan dengan beliau harus kembali ke Jakarta.
Buku kenangan dan buku panduan misa yang jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh panitia yang dimotori oleh Romo Wiharjono S.J mempunyai nilai arti yang besar, sehingga bagi umat buku kenangan tersebut dapat menjadi koleksi kenangan yang cukup indah di rumah masing-masing.
Secara umum acara Peresmian Gedung Gereja santa Maria Tangerang dapat dikatakan cukup baik dan cukup meriah, terutama tanggapan dari segenap umat Paroki yang cukup antusias dalam mensukseskan acara tersebut.
Kini Gereja baru sudah hadir sebagaimana yang diinginkan umat. Rasa lega umat yang telah berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung tentu selega para panitia. Tapi tentu saja masih banyak hal yang perlu diperbuat umat. Membangun Gereja tidak pernah selesai. Tapi yang paling penting adalah dengan Gereja yang baik dan megah, kita juga harus bersama-sama membangun diri kita sebagai Gereja yang utuh. Hendaknya Gereja kita dijaga dengan baik. Karena semuanya itu hasil perjuangan yang panjang.
Setelah pembangunan Gereja selesai tetapi tugas pengembalaan Romo Bin tetap tak pernah berhenti, bahkan bertambah. Maklum, daerah Tangerang terus saja bertumbuh dengan pesat, baik pemukiman maupun industrinya. Warga pendatang terus saja mengalir, arus tenaga kerja pun meninggi. Dari sekian banyak kaum buruh yang berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka butuh sapaan sang pengembala.
Pembangunan Tak Berhenti...
1997 – sekarang
Terbukti setelah Rm. Bintarto mendapat tugas pengembalaan di tempat lain, Paroki Tangerang tidak pernah berhenti membangun. Dikarenakan kebutuhan umat yang kian berkembang, segala sarana pun dibangun untuk mendukung pertumbuhan umat. Pada tanggal 15 Febuari 1997 Paroki Tangerang kembali mendapatkan seorang penggembala baru, yakni Pastor BRATAKARTANA SJ. Yang kemudian pada tahun 1998 menjadi Pastor Kepala sampai sekarang. Hampir sepuluh tahun Rm BRATAKARTANA SJ. yang biasa disapa Rm Broto ini berkarya di Paroki Tangerang, ada banyak pembangunan yang terjadi. Meski diungkapkan beliau bahwa saat ini kita hanya tinggal merawat apa yang telah ada dan meningkatkan partisipasi umat untuk saling melayani satu dengan lainnya. Perkembangan umat yang semakin pesat harus didukung juga dengan pemenuhan akan kebutuhan rohani mereka. Sebuah bangunan gereja belumlah cukup, maka untuk menampung aktivitas umat dalam komunitas yang ada di Paroki dibangunlah Aula St. Maria yang terdiri dari 3 lantai dan aula tersebut diresmikan pada tanggal 7 Desember 1997 serta Aula St. Agustinus pada tanggal 28 Juli 2002.
Perkembangan umat Paroki Tangerang nampak jelas jika kita melihat jumlah umat yang mengikuti perayaan ekaristi setiap minggunya. Terutama pada hari Minggu pkl. 08.30 dimana banyak umat yang tidak mendapat tempat duduk meskipun Gereja sudah diperluas. Oleh sebab itu segala cara pun diusahakan agar umat mendapat kenyamanan saat mengikuti perayaan ekaristi. Lahan yang ada di lingkungan gereja pun dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan umat. Maka, dibuatlah sebuah tenda permanen yang saat ini terletak di sisi kiri dan kanan Gereja. Di bawah tenda itulah umat dapat duduk untuk mengikuti perayaan ekaristi setiap minggunya.
Perkembangan umat Paroki St. Maria juga tampak jelas dengan pemekaran wilayah dan lingkungan. Sampai saat ini tercatat 11 wilayah dengan 57 lingkungan yang ada di Paroki Santa Maria. Selain itu Paroki Santa Maria juga terdiri dari Stasi Gregorius yang terletak di Kota Bumi dan Stasi Imaculata yang terletak di Teluk Naga. Dengan presentase pertumbuhan umat selama 10 tahun terakhir sebagai berikut.
Selain jumlah umat yang kian bertambah di lingkup teritorial gereja, maka lingkup kategorial pun seolah tidak pernah berhenti untuk menampung umat yang ingin berkarya demi kemuliaan Tuhan kita Yesus Kristus. Saat ini sudah banyak komunitas yang tumbuh seperti Legio Maria, Persink, Putera Altar, Puteri Sakristi, Mudika, Persekutuan Doa Karismatik Katolik Dewasa dan Mudika, Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus, E-Club, Teater Teduh, Majalah Terang dan masih banyak lagi.
Seperti yang kita ketahui bersama pembangunan secara fisik tidak hanya terjadi di Gereja Santa Maria saja melainkan di seluruh wilayah yang termasuk dalam Paroki Santa Maria, seperti di Marfati yang baru saja mengalami pembangunan. Dimana gedung serba guna yang ada di Marfati dibangun menjadi sebuah Graha Lansia Marfati. Kini bangunan. tersebut ditempati oleh +/- 42 orang jompo. Selain itu pada waktu yang bersamaan juga dibangun sebuah bangunan yang kini bernama Guest House Marfati yang biasa digunakan oleh umat Paroki St. Maria untuk mengadakan sebuah kegiatan.
Inilah wajah Paroki SANTA MARIA TANGERANG yang seolah tak pernah berhenti mekar. Para gembala telah bekerja keras terlebih dahulu, kini tentu saja para domba haruslah terus mengimbangi pelayanannya, tak lagi hanya sekedar menanti namun terus membangun kualitas iman atas semua yang telah tersedia untuk kita demi Kebesaran namaNya.