Kamis, 22 Desember 2011

ANDAIKATA AKU BUKAN MISIONARIS



oleh Silvinus Sapomo Cm
Selasa, 25 Oktober 2011. Pagi itu matahari sudah meninggi. Teriknya menyengat hangat. Water front berlumpur dijejali banyak orang yang ingin bepergian. Bau keringat bercampur dengan bau karet menusuk hingga ke dalam perut. Kami bersiap-siap pergi patroli ke kampung Joot di Down Fly River. Di sana akan ada pembinaan untuk para anggota Dewan Kampung selama tiga hari. Aku pergi bersama Sr. Denise Renaud, DW, Mary Simon dan Mr. Raphael. Sr. Denise adalah seorang Suster Putri Kebijaksanaan asal Kanada. Ia berusia 65 tahun dan anggota tim pembinaan keuskupan. Tubuhnya besar dan pendek. Mungkin tiga kali lebih besar dari ukuran tubuhku. Kalau pendeknya sih hampir sama. Untuk pergi patroli seperti ini, dia butuh kursi khusus untuk duduk di boat. Dia menyebutnya Chair of Queen Syeba. Bukan hanya kursi. Bahkan untuk (maaf) beol pun dia membawa ember khusus. Sebab di kampung tidak ada toilet duduk. Selanjutnya, Mary Simon dan Mr. Raphael adalah anggota tim pastoral paroki. Kami berempat akan menjadi pemateri sekaligus penterjemah. Sr. Denise memberi materi dalam bahasa Inggris. Kami menterjemahkannya ke dalam bahasa Motu dan Pidgin.

Kembali ke pelabuhan. Kami membawa banyak barang. Ada 300 liter bensin untuk keperluan transportasi. 1 liter harganya 6 kina. Jadi untuk fuel saja, kami perlu dana K1.800 atau setara dengan Rp.7.200.000. Bahan makanan juga harus dipersiapkan. Bukan cuma untuk kami, tapi juga untuk peserta. Untuk itu kami mengeluarkan uang belanja sekitar K1.000 atau setara dengan Rp.4.000.000. padahal yang dibeli hanya beras, gula, kopi, teh dan sirup serta ikan kaleng dan noodles/mie alias kakaruk. Itupun bukan barang bagus, sebab sudah kadaluarsa beberapa bulan yang lalu. Para peserta diminta untuk membawa makanan yang kami sebut sebagai local contributions seperti sagu, pisang, ketela dan sayuran. Dengan boat yang sarat barang dan penumpang, kami berangkat menuju Joot jam 11.00 dan sampai di tempat jam 16.00.

Pembinaan para anggota dewan kampung berjalan lancar. Istilah keren untuk dewan kampung adalah VCT (Village Coordinating Team). Anggota VCT terdiri dari perwakilan bapak-bapak, ibu-ibu, mudika, pemimpin ibadat dan koordinator serta wakilnya. Jadi, setiap kampung setidaknya ada 6 anggota VCT. Untuk pembinaan kali ini, pesertanya ada 25 orang. Masing-masing dari kampung Katawim (3), Kaikok (3), Joot (6), Kuiu (5), Kukuzaba (2), Membok (2), Mapruam (2) dan Memeyop (2). Ada 2 kampung lagi yang tidak mengirim utusan, yakni Erecta, dan Karemgo. Dalam pembinaan ini, kami mengajak mereka semua untuk mengerti tugas dan tanggungjawab mereka sebagai VCT, mengerti sutruktur dan jalur kebijakan di dalam Gereja dan bagaimana mereka bekerja dan melayani umat dalam sebuah tim seperti merencanakan kegiatan,  melaksanakan dan mengevaluasi itu semua dalam sebuah rapat koordinasi. Semua materi itu diberikan dalam bentuk kerja kelompok, diskusi, sharing dan drama juga. Dan yang repotnya adalah: semuanya diterjemahkan dalam tiga bahasa.

Jumat siang, 28 Oktober acara selesai dan ditutup dengan perayaan Ekaristi. Sr. Denise dan Mary Simon langsung kembali ke Kiunga bersama dengan beberapa peserta dari kampung yang searah. Mereka memakai boat yang disewa oleh para pastor CM untuk mengantar Magnus dari Yakobis Surabaya. Dia akan meliput beberapa acara dan kegiatan patroliku di daerah Down Fly River. Boat itu disewa bersama dengan pengemudi, mesinnya dan kami juga harus menyediakan 160 liter bensin. Fr. Yohanes Werang CM mengurus semuanya dengan memakai uang komunitas CM di Kiunga. Total pengeluaran untuk itu mencapai K1.160 atau setara dengan Rp.4.840.000. setelah acara selesai, Magnus, Raphael dan aku sendiri turun ke bawah sungai Fly untuk mengantar peserta pulang ke kampung-kampung mereka. Sambil mengantar peserta, Magnus membuat beberapa dokumentasi misi, mewawancarai pemimpin-pemimpin umat dan segala hal yang berkaitan dengan pelayanan para imam Kongregasi Misi di Keuskupan Daru-Kiunga.

Malam itu kami menginap di kampung Memeyop. Kampung kecil dengan 20 kepala keluarga. Mereka begitu senang menyambut kami. Sebelum pulang, kami masih misa pagi bersama. Setelah itu, beberapa anak turun ke danau untuk memanah (molo) ikan. Dalam beberapa saat saja mereka sudah berhasil mendapatkan 4 ekor ikan mujair dan 1 ekor kura-kura besar. Ketika akan meninggalkan Memeyop beberapa ibu dan anak-anak berlari-lari menuju bibir danau. Mereka membawa ikan-ikan segar dari rumah mereka. Mereka memberi sayur-sayuran juga untuk pastor.  Sungguh sebuah suasana dan pemandangan yang membahagiakan. Mereka begitu mencintai kami. Dan aku sendiri hanya bisa merenung sejenak, “Aku tidak menjala dan memukat ikan, tapi ketika aku memikat hati mereka dengan pelayanan dan cinta yang tulus, maka itulah yang menjadi pukat dan jalaku.” Dari Memeyop kami kembali ke Kiunga dan mampir sebentar di Joot dan Kaikok. Di sana Magnus harus mengambil beberapa gambar dan wawancara dengan tokoh-tokoh umat juga. Kami baru tiba di Kiunga jam 17.00. Sebuah perjalanan yang cukup lama, yakni sekitar 6 jam.

Malam minggu aku sudah lelah. Rasanya ingin langsung tidur. Tapi kotbah untuk misa besok belum siap. Aku membayangkan acara esok hari. Pergi pagi-pagi ke kampung Dome dan Yogi untuk misa penutupan Bulan Rosario. Aku pergi lagi bersama Magnus. Jam 6.00 berangkat dengan mobil pick up paroki. Setelah 1 jam dengan mobil, kami meneruskan perjalanan dengan naik perahu untuk menyeberang ke kampung Dome. Untuk boat itu, kami harus menyediakan 10 liter bensin, sebab dia akan mengantar kami pergi-pulang dari Dome ke Yogi dan kembali ke tempat parkir mobil kami.

Perayaan Ekaristi di dua kampung itu sangat meriah. Sebelum Misa, mereka mengadakan perarakan patung Bunda Maria dari corners atau lingkungan-lingkungan ke dalam Gereja. Mereka menyambut kami dengan tarian-tarian tradisional, juga dalam perayaan Ekaristi. Sebuah ungkapan iman dan kegembiraan rohani terpancar dari tindakan dan semangat mereka. Iman itu sungguh-sungguh mengakar kuat dalam budaya dan tradisi. Mereka memakai aneka pakaian tradisional dalam perayaan misa. Lagu-lagu dengan bahasa Muiu, Melayu dan Pidgin menyatu harmonis dengan aransemen alami dan khas dari bakat alami yang mereka miliki. Aku terharu melihat semuanya itu. Aku melihat Tuhan dalam kesederhanaan dan keunikan. Aku melihat Dia dalam rupa yang nyata. Andaikata aku bukan seorang misionaris, mustahil aku melihat dan mengalami semuanya ini. Andaikata aku bukan misionaris, aku tak akan melihat keindahan seni dan kreasi yang unik mereka ini. Andaikata aku bukan seorang misionaris, aku tidak mungkin berada di tempat ini. Kehadiranku di tengah mereka sebagai gembala dan misionaris meneguhkan iman mereka. Sebaliknya, semangat dan kesetiaan mereka dalam iman membahagiakan aku juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar