Kamis, 22 Desember 2011

AKU MULAI JATUH CINTA



“Excuse me, Father Pom, a mother and her childrens are looking for you,” kata Pak Rafael. “Who are they and coming for what?” sahutku dari balik kelambu. “I don’t know, Father”, jawabnya yang memaksaku harus keluar dari sarangku. Sekilas aku melirik arlojiku. Rupanya sudah jam sembilan malam. Aku nyaris terlelap karena lelah. Sore tadi, setelah dua jam terguncang-guncang di atas boat, aku masih membantu Rafael memperbaiki generator. Kami sudah bekerja keras sampai berkeringat. Gensetnya berhasil menyala. Lalu aku memasang kain untuk membuat “Layar Tancap.” DVD Player sudah siap juga. Tapi sayang, DVD yang akan diputar untuk umat di kampung malah lupa dibawa. “Thanks be to God. Let’s prepare the second plan,” jawabku pada ibu yang bertanggung-jawab membawanya. Dia sempat kaget mendengar jawabanku. Dia sudah mengira aku akan marah-marah. Memang ada alasan untuk marah, tapi aku sudah terlanjur lelah. Maka, rencana keduanya adalah: matikan saja gensetnya. Beritahu umat dengan segera. Lalu aku menggelar matras bututku. Menggantung kelambu dan berencana menikmati tidurku.

Dalam kegelapan malam itu, seorang ibu dengan banyak anak datang ingin ngobrol denganku. Dia berkata kalau dia dipaksa anaknya untuk bertemu pastor. Anaknya tidak mau tidur sebelum mengunjungi pastor. Lucu juga, tapi memang begitu adanya. Anak itu kelihatan amat gembira selama kami berbicara. Tadi sore waktu tiba di kampung Kawok, anak-anak memang membantu kami mengangkat barang-barang. Setelah itu, aku memberi mereka permen satu-satu. Aku sempat bersama mereka main bola juga. Mungkin itu yang membuatnya bahagia. Si ibu bercerita tentang situasi kampungnya. Kampung lokal yang nyaris mati. Kampung besar yang kini hampir tak ada penghuni. Banyak dari mereka memilih pindah ke kota Kiunga, menikmati uang kompensasi mereka. Rumah dan kebun tak pernah lagi dijamah. Bila datangpun seringkali mabuk dan membuat ulah. Yang tinggal di kampung malas ke Gereja. Komunitas Basis Kristiani tidak jalan sama sekali. Mereka akan segera berkumpul bila ada action plan yang berupa bagi-bagi uang dan sembako seperti yang dilakukan oleh banyak Gereja Kristen di negeri ini.

Dari paroki kami datang dengan satu program tunggal: memberikan penyuluhan tentang “HIV/AIDS Awareness.” Sebetulnya ini program pemerintah, tapi dipercayakan kepada Gereja. Maka dalam tim patroli kali ini, ada perawat yang mewakili pemerintah. Semua biaya dan akomodasi ditanggung oleh pemerintah. Tapi yang namanya pemerintah, di mana-mana hanya banyak omong dan janji saja. Program sudah direncanakan tahun lalu, tapi sampai hari H dana belum juga keluar. Bahkan infonya baru akan cair tahun depan lagi. Yaahhh, mau bagaimana lagi! Akhirnya semua kembali ke paroki. Kami akan mengunjungi tiga kampung lokal di sepanjang Fly River. Katanya pastor harus ikut serta untuk menarik massa. Jika umat biasa yang datang, mereka tidak akan tertarik kecuali atas nama perusahaan yang membawa uang dan aneka tetek-bengeknya. Kalau bersama pastor setidaknya ada alasan untuk mengundang mereka misa. Apalagi, pastornya “too young and handsome,” kata Nurse dalam sebuah pengantar sessinya. (Ingat lho, ya; yang bilang begitu Nurse, bukan pastornya sendiri, hahaha...). Dan memang terbukti cukup banyak umat yang “dijebak” dengan Ekaristi Suci. Setelah misa umat dilarang keluar gereja. Penyuluhan langsung diberikan setelah lagu penutup selesai. Untuk program outdoor, di dua kampung kami bisa memutar DVD tentang HIV/AIDS, sebab aku mengirim berita ke paroki, supaya mengirim DVD itu ke kampung berikut. Program outdoor diminati lebih banyak orang dari pada misa dan indoor. Mengapa? Karena itulah satu-satunya hiburan bagi mereka yang tinggal di kampung. Selain itu, umat dari Gereja Kristen lainnya juga bisa ikut nimbrung dan menimba manfaat dari layar lebar yang dihadirkan khusus bagi mereka.

Nyaris saja tanpa aku sadari bahwa inilah patroli terakhir kali di Paroki St. Gerard Katedral ini. Selama hampir delapan bulan, 15 kampung sudah aku kunjungi semua. 8 kampung pengungsi dari West Papua dan 7 kampung lokal warga Papua New Guinea. Kini, ladang baru nan tandus sudah menanti. Letter of appointment dari bapak uskup sudah keluar.  Dari St. Gerard Kiunga di kota, aku bergeser sedikit ke Our Lady of Papua Kungim di tengah belantara Papua. Nyaris tak terasa, delapan bulan telah berlalu begitu rupa. Nyaris tak terduga, pengalaman unik dan menarik mengalir begitu saja. Nyaris tak terselami olehku, bahwa tangan kudusNya telah menuntunku begitu kuat dan indah pula. Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali menjejakkan kaki di kampung-kampung itu. Akankah nanti aku kembali mengayunkan langkah-langkah kecil bersama para pemimpin dan umat yang telah merebut hati ini? Rupanya aku mulai jatuh cinta. Para pemimpin dan umatpun merasakan hal yang sama. Satu-dua sudah mendengar desas-desus penugasan baruku. Beberapa pemimpin dari kampung pengungsi mengutarakan kesedihannya. Dan aku hanya bisa berkata bahwa semua ada waktunya. Jika aku bisa datang, maka aku bisa juga pergi. Aku sudah bersama mereka dan akan ada waktu pula untuk meninggalkan mereka. Dari awal aku sudah tahu bahwa St. Gerard hanyalah medan orientasi, saat adaptasi dan bulan-bulan untuk belajar itu dan ini. Rasanya aku memang sudah mulai jatuh cinta. Tapi cinta ini harus terus diberi dan dibagi-bagi. Rasa ini tak mungkin dinikmati sendiri. Cinta ini memintaku untuk pergi ke tempat yang lain lagi. Cinta ini rupanya adalah sebuah pilihan untuk memberikan diri di mana saja dan kapan saja. Dan sejauh ini, aku merasa bahwa pilihanku tidaklah salah. Hanya saja rancanganNya tidak selalu sama dengan yang aku punya. Maka, bagiku Penyelenggaraan Ilahi berarti tunduk pada misteri Allah. Dan aku sendiri dengan suka rela dan penuh cinta mengikutiNya seraya merevisi kehendak dan rencana pribadi. Surga lama akan berlalu bagiku dan surga baru sudah menungguku.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar